Sabtu, 14 November 2009

QS: 6 (49) + Kejujuran

Ayat ke-6 dari surah al-Hujurât (49) selalu diterjemahkan, ''Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan itu". Sekilas terjemah ayat ini tidak bermasalah. Namun, jika dipikirkan lebih jauh, terjemah ayat seperti ini mengandung masalah yang perlu mendapatkan perhatian. Sumber masalahnya terletak pada kata fâsiq yang secara sederhana didefinisikan sebagai orang yang tidak taat pada aturan agama.

Pertanyaannya: jika berita yang datang dari orang fasiq tidak dapat dipercaya, dalam kehidupan nyata, siapa yang dimaksud dengan orang fasiq? Ketika ada orang yang tidak taat pada ajaran agama (tidak melakukan shalat, misalnya), apakah berita yang ia sampaikan pasti berita dusta? Sebaliknya, jika orang taat pada ajaran agama, apakah dapat dipastikan bahwa berita yang ia sampaikan pasti benar adanya?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini memang tidak dapat memakai logika hitam di atas putih. Lalu, mengapa ayat di atas mengesankan bahwa kita harus melakukan klarifikasi hanya terhadap berita yang datang dari orang fasiq? Di sinilah letak masalahnya. Terjemah ayat di atas mengandung masalah karena tidak teliti dalam memahami kalimat yang digunakan al-Qur'an pada ayat di atas. Kata fâsiq pada ayat di atas tidak boleh diterjemahkan secara terpisah dari kata selanjutnya, yaitu kata bi an-naba'.

Kata fâsiq pada ayat di atas tidak dapat diterjemahkan sebagai orang fasiq. Ketika digabungkan, maka kata itu menjadi fâsiq bi an-naba' yang artinya adalah orang yang terlibat dalam satu perkara (saksi mata atau pelaku). Ketika ia keluar, ia membawa berita tentang perkara yang ia alami secara langsung. Orang seperti inilah yang layak dijadikan sumber klarifikasi (tabâyun) dalam perkara tersebut. Jadi terjemah ayat di atas yang tepat adalah, "Wahai orang-orang yang beriman. Jika seorang saksi mata atau pelaku (perkara tertentu) datang kepada kalian, lakukanlah klarifikasi (tabâyun) agar kalian tidak menuduh (mendakwa) satu kaum (atau seseorang) berdasarkan kebodohan (karena tidak mendapatkan irformasi faktual). Jika itu terjadi (mendakwa tanpa dasar yang kuat), maka kalian akan menyesal atas apa yang telah kalian lakukan".

Akar kata fâsiq adalah fa-sa-qa. Dalam bahasa Arab akar kata ini juga digunakan untuk fenomena keluarnya biji kurma dari daging kurma. Jadi, kata fâsiq bi an-naba' memiliki arti yang sangat penting bagi dunia peradilan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya: polisi, jaksa, dan termasuk KPK.

Semangat klarifikasi yang dianjurkan dalam ayat ini adalah keniscayaan dalam proses menegakkan keadilan. Apalagi di saat sekarang ini, di mana terjadi ketegangan antara KPK dan Polri. Sungguh, hanya semangat klarifikasi dan kejujuran yang dapat memberikan ketenangan serta melahirkan kepastian hukum yang adil. Dengan demikian masyarakat tidak akan terseret pada semangat dukung-mendukung yang tidak didasarkan pada kebenaran. (Taufik Damas).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar