Jumat, 13 November 2009

Diam Itu Emas

Memilih sikap diam (tidak berkomentar) ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan. Banyak orang tidak mampu diam karena faktor-faktor tertentu. Status sosial, jabatan, dan gelar adalah bagian dari faktor yang menyebabkan orang sangat sulit memilih sikap diam. Komentar tentu dibutuhkan dari orang yang menguasai masalah. Akurasi komentar sangat membantu menyelesaikan problem yang sedang dihadapi, apalagi menyangkut hajat hidup masyarakat luas. Selain akurasi, komentar harus didorong oleh semangat mencari jalan keluar yang tepat dan benar.

Tidak semua orang layak berkomentar dan tidak ada orang yang memiliki kemampuan mengomentari semua masalah. Ada sepesifikasi yang membuat orang hanya mampu mengomentari masalah tertentu, tidak yang lainnya. Dalam hal ini tentu dibutuhkan kerendahan hati agar tidak mengomentari sesuatu yang tidak dipahami secara pasti. Baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Allah berfirman, "Jangan mengomentari (atau menyikapi) sesuatu yang tidak engkau pahami. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati akan diminta pertanggungjawaban semuanya". (QS. 17:36)

Penglihatan dan pendengaran adalah pintu masuk ilmu pengetahuan bagi manusia. Dengan dua indra ini manusia mampu memahami apa yang begerak di sekitarnya. Namun, untuk mengomentari masalah tertentu, manusia dituntut menggunakan hati (nurani) yang cenderung pada kejujuran. Tanpa bimbingan hati nurani, kebenaran yang ditangkap oleh penglihatan dan pendengaran bisa jadi dibelokkan. Dalam ayat di atas Allah menegaskan bahwa pendengaran, penglihatan, dan hati nurani akan dituntut pertanggungjawaban.

Secara eksplisit Allah menuntut manusia untuk tidak memberikan komentar terhadap sesuatu yang tidak dipahami secara pasti. Ada implikasi negatif jika komentar hanya didasari oleh dorongan nafsu. Kehidupan akan semakin kacau karena komentar yang tidak didasari oleh sinaran ilmu pengetahuan dan hati nurani. Rasulullah Saw. menegaskan, "Jika satu masalah diserahkan kepada orang yang tidak memiliki kompetensi, maka tunggu saat kehancurannya". (HR. Bukhari).

Banyak orang yang tidak mampu menyadari bahwa dirinya tidak layak memberikan komentar untuk masalah tertentu. Perasaan gengsi dan ingin tampak menonjol menjadi faktor penyebabnya. Ironinya, fenomena seperti ini juga merambah ke dalam wilayah agama. Akibatnya, sebagai pelita kehidupan, kadangkala agama justru membuat masyarakat bimbang dan kebingungan karena disampaikan oleh orang-orang yang tidak menguasai ilmu agama. Sekadar mengungkapkan ayat dan hadis, segala masalah seolah dapat dituntaskan. Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Akan datang tahun-tahun penuh penipuan pada manusia: pembohong dianggap benar dan orang yang benar dianggap pembohong; orang yang setia dianggap pengkhianat dan pengkhianat dianggap orang yang setia. Pada saat itu akan ada banyak ruwaybidhah". Para sahabat bertanya, "Apa yang dimaksud dengan ruwaybidhah, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang pandir yang banyak bicara soal urusan masyarakat". (HR. Ibnu Majah). (Taufik Damas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar