Selasa, 29 Desember 2009

Mengapa Kalender Hijriah Berdasarkan Rembulan?

Oleh: Taufik Damas

Dalam situs www.islamlib.com, Abd Moqsith Ghazali menulis satu artikel menarik tentang penentuan 1 Muharam sebagai tahun baru hijriah. Artikel Moqsith berjudul Kelumit Sejarah Pembentukan Kalender Islam. Artikel ini mengulas tentang latar belakang peristiwa yang dijadikan sebagai patokan untuk menentukan tahun pertama hijriah. Setelah terjadi perdebatan, terpilihlah peristiwa hijrah Rasulullah ke Yatsrib (Madinah) sebagai hari pertama dimulainya kalender hijriah dan bulan Muharam terpilih sebagai bulan pertama. Keputusan ini ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab, seorang Khalifah yang dikenal sangat inovatif di dalam Islam.

Artikel Moqsith yang menarik ini menyisakan satu pertanyaan yang tidak sempat dijelaskan: mengapa penghitungan kalender hijriah berdasarkan pada peredaran rembulan, bukan pada peredaran matahari? Bukankah penghitungan kalender berdasarkan peradaran rembulan terbukti sering melahirkan perbedaan pendapat dalam menentukan hari-hari tertentu? Bukankah penghitungan kalender berdasarkan peredaran matahari lebih memberikan kepastian seperti yang terjadi pada kalender masehi?

Perbedaan pendapat yang paling terang dan paling sering terjadi adalah dalam penentuan jatuhnya awal bulan Ramadhan dan bulan Syawal. Umat Islam sering berbeda pendapat dalam hal ini. Bahkan, pada tahun yang sama mungkin terjadi perbedaan pendapat yang lebih dari dua, seperti di Indonesia. Kondisi ini tentu cukup ironi dan entah kapan akan berakhir.

Dalam buku karya Zaki Amin yang berjudul Rizqî tahta Zhilli Ramhî dijelaskan tentang latar belakang kalender hijriah mendasari penghitungan pada peredaran rembulan.

Menurut Zaki, sebelum masyarakat Hijaz pra-Islam mengenal konsep Allah, mereka sudah mengenal konsep tuhan-tuhan dari berbagai peradaban yang ada di sekitar wilayah mereka. Dalam pikiran mereka terbersit kehendak untuk menciptakan konsep tuhan dari al-Lâta, Dewa Rembulan bagi masyarakat Syria (Syam). Akan tetapi Dewa ini adalah Dewa Perempuan dan tidak sesuai dengan karakter kejantanan masyarakat Hijaz (Tafsir Ibnu Katsir, hal. 1780). Selain itu, mereka juga tidak ingin "menyakiti" al-Lâta dengan mengubahnya jadi Dewa Laki-laki dan khawatir akan murkanya.

Maka, mereka mengubah (menderivasi) kata al-Lâta (muanats/perempuan) menjadi kata Allah (muzakar/laki-laki). Dengan kata lain, secara linguistik mereka mengubah rembulan dari berstatus perempuan menjadi berstatus laki-laki. Setelah menyepakati kata Allah sebagai Tuhan, mereka memposisikan Allah sebagai Tuhan tertinggi, sementara posisi al-Lâta berada di bawahnya. Tepatnya, al-Lâta diposisikan sebagai salah satu anak perempuan Allah. Dengan demikian mereka merasa telah berhasil mendamaikan antara karakter kejantanan mereka dan ke-perempuan-an al-Lâta, di satu sisi, serta tetap menjaga diri dari murka al-Lâta, di sisi lain.

Selain al-Lâta, mereka menambahkan anak-anak perempuan Allah dari peradaban lain: Uzza, Dewa Kekuatan dari Sinai, dan Manat, Dewa Pembagi Nasib dari Mesir. Terbentuklah konsep Allah, Tuhan Laki-laki, Dewa Rembulan, dalam kesadaran mereka. Selain Allah, mereka juga mengagungkan al-Lâta, Uzza, dan Manat yang menjadi anak-anak perempuan Allah. Tentang tiga anak perempuan Allah ini juga digambarkan oleh Philip K Hitti dalam History of The Arabs, hal. 123.

Selain itu mereka juga menjadikan rembulan (hilâl) sebagai simbol Allah dan bintang (najmah) sebagai simbol Uzza. Keduanya menjadi simbol yang mereka agungkan. Hingga saat ini, negara-negara di wilayah Timur-Tengah menggunakan rembulan dan bintang dalam bendera-bendera mereka. Berdasarkan ketuhanan rembulan inilah mereka menetapkan penghitungan kalender pada rembulan. Mereka juga menentukan berbagai ritual berdasarkan rembulan, baik shalat, puasa, atau haji.

Penghitungan kalender berdasarkan peredaran rembulan ini diteruskan setelah Islam datang dan berkembang di wilayah Arab. Dalam al-Quran ditegaskan, "Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, 'Itu adalah petunjuk waktu bagi manusia dan ibadah haji'" (QS. Al-Baqarah: 189). Inilah sekelumit penjelasan tentang penanggalan hijriah yang mendasari penghitungannya pada rembulan. Wallahu a'lam bi ash-shawâb.

Senin, 21 Desember 2009

Efek Kata-Kata

Taufik Damas

Rasulullah Saw. bersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia mengucapkan kata-kata baik atau diam!" (HR. Bukhari, Muslim, dan lain-lain).

Dalam buku The True Power of Water, Dr. Masaro Emoto membutikan bahwa air dapat membawa pesan dan informasi positif. Air yang dibacakan kata-kata positif akan merespon dan membentuk kristal-kristal positif yang merekah bagaikan bunga di pagi hari. Apalagi jika yang diucapkan di hadapan air adalah doa-doa. Sebaliknya, jika yang diucapkan adalah kata-kata negatif, maka air akan membentuk kristal-kristal pecah yang berdampak negatif.

Hasil penelitian Dr. Masaro Emoto ini menegaskan betapa pentingnya kata-kata positif bagi manusia yang 70% tubuhnya terdiri dari air. Dalam kehidupan rumah tangga, tidak jarang anggota keluarga mengucapkan kata negatif kepada anggota keluarga lainnya. Dampak dari ucapan negatif ini sering kali tidak disadari karena minimnya wawasan ilmiah tentang bahaya ucapan negatif. Kata "bodoh", "pemalas", "cengeng", dan lain-lain sering terucap dari bibir orangtua kepada anaknya. Al-Quran menegaskan bahwa kita tidak boleh mengucapkan kata negatif kepada orangtua, "Jangan ucapkan kata negatif kepada kedua orangtua, jangan membentak mereka, dan ucapakanlah kata-kata yang baik" (QS: Al-Isrâ': 23). Larangan mengucapkan kata negatif tentu tidak hanya berlaku pada anak terhadap orangtua. Larangan ini berlaku bagi siapa saja dan terhadap siapa saja.

Selain berdampak menyakitkan hati—yang berarti merusak hubungan sosial—kata-kata negatif juga mempengaruhi orang yang menjadi sasaran kata-kata itu secara psikologis. Dalam konteks ini hasil penelitian Emoto menjadi sangat signifikan. Dalam tubuh manusia yang 70% teridiri dari air akan terbentuk kristal-kristal pecah ketika ia sering menerima ucapan yang negatif. Bayangkan jika itu terjadi pada anak-anak kita.

Hasil penelitian Emoto juga menegaskan bahwa pada hakikatnya kata-kata memiliki kekuatan "mencipta". Kata-kata negatif akan menciptakan sesuatu yang negatif dan kata-kata positif akan menciptakan sesuatu yang positif. Mungkin inilah rahasia sabda Rasulullah Saw. yang menegaskan, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia mengucapkan kata-kata baik atau diam!" Hadis ini diriwayatkan oleh banyak imam hadis. Hadis yang diriwayatkan oleh banyak imam hadis, selain berstatus sahih, berarti sangat penting bagi kehidupan manusia. Walau tidak bermaksud berapologi, hasil penelitian Emoto sangat penting untuk menegaskan hikmah di balik hadis tersebut. Jika kita tidak mampu mengucapkan kata-kata yang baik, maka pilihan bijak adalah diam. Karena, ucapan negatif memiliki dampak negatif secara sosial dan psikologis yang berarti menciptakan ketegangan dan penyimpangan dalam kehidupan, baik kehidupan rumah tangga atau pun kehidupan bermasyarakat. Maka, ciptakanlah kehidupan yang baik dan damai dengan mengucapkan kata-kata positif kepada semua orang di sekitar kita.

Kamis, 03 Desember 2009

Tentang Bidah

Tentang Bidah

Rasulullah bersabda, “Ucapan terbaik adalah Kitab Allah. Petunjuk terbaik adalah petunjuk Muhammad. Perkara yang paling buruk adalah perkara yang diada-adakan. Setiap perkara yang diada-adakan adalah bidah. Setiap bidah adalah sesat. Dan setiap kesesatan tempatnya di neraka. (HR. Al-Nasa’i).

Secara pribadi saya sudah tidak tertarik dengan pembahasan tentang bidah. Bagi saya hal ini seharusnya sudah kita selesaikan sejak berabad-abad yang lalu hingga kita (umat Islam) lebih konsentrasi pada isu-isu kekinian yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. Tapi, apa mau dikata. Isu bidah masih sensitif di tengah-tengah umat Islam saat ini. Dan fenomena ini tidak lain membuktikan bahwa peradaban kita masih berada pada level “peradaban teks (hadharatu al-nash).”

Teks-teks agama (baik dari al-Quran atau hadis) masih memiliki pengaruh sangat kuat bagi gerak peradaban yang sedang dibangun oleh umat ini. Peradaban yang dibangun berdasar teks tidak akan pernah menemukan elan vitalnya. Peradaban adalah akumulasi pemikiran manusia yang membentuk bangunan raksasa yang berdiri di atas temuan-temuan ilmiah obyektif dan selalu berkembang dari masa ke masa. Itulah yang terjadi di dunia Barat. Mereka membangun peradabannya berdasarkan obyektifitas hukum alam (sistem) yang mengatur alam raya ini, termasuk manusia di dalamnya. Konsekuensinya: mereka maju kita mundur atau jalan di tempat.

Saya terpaksa melihat wacana soal bidah masih ada relevansinya, terutama karena geliat gerakan Islam trans-nasional (atau Islam puritan) yang cenderung "mem-bidah-kan" perilaku ritual Islam lokal yang banyak dilakukan oleh kaum muslim Indonesia.

Kata “bidah” selama ini dipahami secara beragam dan hampir tidak ada kesepakatan definisi tentangnya. Bidah menjadi semacam “bola liar” yang bisa ditendang oleh siapa saja dan menabrak siapa saja. Sialnya, dalam hal ini semangat melontarkan tuduhan bidah didorong oleh makna “sesat” yang terkandung di dalamnya. Bidah adalah kesesatan dan kesesatan tempatnya di neraka, begitulah makna hadis di atas.

Inilah “spirit jahat “ yang ditangkap oleh sebagian muslim kemudian digunakan menuduh muslim yang lain. Saya katakan sebagai “spirit jahat” karena tuduhan bidah sama artinya dengan mengharapkan orang lain masuk neraka, berdasarkan hadis tadi.

Banyak ulama yang telah mendefinisikan “bidah”, namun sekian definisi yang ada terkesan rumit dan ideologis. Kita perlu memahami kata “bidah” secara lebih definitif-konvensional hingga tidak mudah digunakan sebagai “senjata” untuk menyerang. Saya mengajak orang untuk melek sejarah hingga dapat memilih definisi yang tidak menyesatkan. Jika tidak ada keberanian seperti ini, selamanya kita akan terjerumus dalam “jurang perebutan klaim keselamatan eskatologis” yang belum pasti kita dapatkan.

“Bidah” bagi saya adalah taqyîdu mâ athlaqahu Allahu wa rasûluh wa ithlâqu mâ qayyadahu Allahu wa rasûluh (membatasi sesuatu yang dibebaskan oleh Allah dan Rasul dan membebaskan sesuatu yang dibatasi oleh Allah dan Rasul). Sesuatu yang di batasi oleh Allah dan Rasul jumlahnya sangat sedikit. Contoh paling tegas adalah ibadah. Ibadah adalah kegiatan yang ditentukan (dibatasi) oleh Allah dan Rasul. Tidak seorang pun boleh mengadakan sebentuk ibadah yang petunjuk hukumnya tidak ada secara tegas. Karena, pada dasarnya hukum ibadah adalah haram, kecuali ada dalil yang menunjukkan kewajibannya (al-ashlu fî al-‘ibâdah harâm hattâ yadulla al-dalîl ‘alâ al-wujûb).

Shalat wajib adalah lima waktu. Ini ketentuan dari Allah dan Rasul. Maka, tidak boleh orang menentukan kewajiban shalat di luar shalat yang lima itu. Puasa wajib adalah di bulan Ramadhan. Ini ketentuan Allah dan Rasul. Maka, tidak boleh seorang pun menentukan kewajiban puasa di luar bulan Ramadhan. Dan contoh-contoh lain yang jumlahnya jauh lebih kecil daripada kebebasan yang Allah berikan.

Termasuk dalam kebebesan adalah tradisi. Dalam hal ini tradisi yang dilakukan oleh muslim lokal, seperti perayaan maulid nabi, tahlilan, tujuh bulanan (untuk mendoakan kehamilan), dan lain-lain merupakan tradisi yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam agama. Agama tidak mewajibkan, tidak menyunahkan, dan tidak mengharamkan. Jika sesuatu tidak memiliki pijakan hukum secara pasti, maka sesuatu itu masuk dalam kategori kegiatan yang berstatus hukum mubâh (boleh): boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.

Tidak ada hukum yang mengikatnya hingga harus dilakukan atau ditinggalkan. Dalam hal ini saya setuju dengan prinsip landasan hukum yang menjadi pegangan Imam Syafii, al-ashlu fî al-asyâ’ al-ibâhah hattâ yadulla al-dalîl ‘alâ al-tahrîm (segala sesuatu pada dasarnya berhukum boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).

Tidak ada istilah “bidah hasanah (baik)” selama kata bidah yang dimaksud adalah bidah secara terminologis (istilâhi). Semua bidah, secara terminologis, adalah kesesatan. Inilah bidah yang dimaksud oleh hadis yang terkenal itu. Kategorisasi hasanah (baik) dan sayyi’ah/madzmûmah (buruk) lebih tepat diajektifkan pada kata sunnah. Jadi, ada sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah. Ini sesuai dengan hadis, Man sanna sunnatan hasanatan ... wa man sanna sunnatan sayyi’atan ... (HR. Muslim dan yang lain)

Oleh karena itu, kata bidah tidak bisa dan tidak boleh dituduhkan secara serampangan kepada orang lain yang melakukan ritual tertentu yang tidak ada petunjuk hukumnya dalam agama seperti yang telah saya sebutkan di atas. Lontaran bidah menunjukkan kerendahan pemahaman seseorang akan asal-usul hukum agama. Selain itu “sikap angkuh” ini sangat membahayakan karena berpotensi menjadi sumber permusuhan antar umat. Siapa pun harus belajar akan kekayaan tradisi keilmuan Islam hingga tidak mudah menuduh orang lain sebagai pelaku bidah, dan mengklaim dirinya sebagai pengemban sunnah yang paling sah. (Taufik Damas)

Senin, 16 November 2009

Memahami Hadis Nabi Secara Rasional

Oleh: Wail al-Sawah dalam website www.alawan.org
Diterjemahkan oleh: Taufik Damas

Dalam satu riwayat Jabir ibn Abdullah menyampaikan bahwa Nabi Muhammad melihat seorang perempuan kemudian ia masuk rumah menemui Zainab bint Jahsyn untuk menunaikan "hajat"-nya. Setelah selesai, ia keluar menemui para sahabat dan berkata, "Sungguh perempuan datang menyerupai setan. Barangsiapa merasakan sesuatu (hasrat seksual) karenanya, temuilah istrinya. Perilaku itu akan menghilangkan hasrat yang ada dalam jiwa (dalam riwayat lain: akan menekan hasrat yang tersimpan dalam jiwa)". Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Qathan, dan al-Albani. Semua memastikan bahwa hadis ini sahih.

Kita akan jadikan hadis ini sebagai obyek bahasan untuk membuktikan pendapat bahwa berpegang pada hadis-hadis Nabi yang baru dikumpulkan setelah dua ratus tahun dari masa Nabi adalah salah (bâthil) jika tidak mempertimbangkannya secara rasional dan menggunakan alur logika yang benar. Rasionalitas dan logika-lah yang akan menentukan kesahihan hadis. Prinsip-prinsip yang dipegang oleh para perawi hadis, seperti ilmu jarh wa ta'dîl dan lain-lain, tidak cukup dijadikan pegangan. Karena, prinsip-prinsip itu tidak cukup untuk membendung hadis di atas sampai kepada pembaca masa kini yang meyakininya sebagai hadis sahih dan dapat dipercaya.

Mari kita bayangkan kejadian dalam hadis di atas sesuai dengan ruang dan waktu. Nabi dan para sahabat duduk dalam satu majlis kemudian ada seorang perempuan lewat. Nabi melihatnya dan berhasrat padanya (atau karenanya). Ia minta izin pada para sahabat untuk masuk rumah menemui Zainab bint Jahsyn. Ia lantas menunaikan "hajat"-nya pada Zainab dan segera kembali kepada para sahabat untuk meneruskan perbincangan. Ia menjelaskan apa yang telah dilakukan dengan mengatakan, "Perempuan datang menyerupai setan. Dalam kondisi seperti itu, sebaiknya seorang laki-laki segera menemui istrinya agar tidak termakan oleh godaan setan".

Mari kita analisa hadis di atas. Dapat kita pastikan bahwa Nabi berkumpul dengan para sahabat dalam rangka berdiskusi tentang berbagai masalah yang berhubungan dengan umat, agama, dan masyarakat. Dalam buku-buku sejarah kita tidak pernah menemukan bahwa Nabi berkumpul dengan para sahabat hanya untuk bergurau menghabiskan waktu. Tiba-tiba seorang perempuan lewat dan Nabi segera meninggalkan perbincangan serius tentang berbagai masalah umat untuk menunaikan "hajat" dengan istrinya. Jelas, perilaku ini tidak pantas bagi seorang pemimpin seperti Nabi dan tidak sesuai dengan usianya ketika itu .

Selain itu, semua riwayat yang menceritakan hadis ini tidak menjelaskan kondisi sang perempuan yang lewat di hadapan Nabi dan para sahabat: apakah ia perempuan muda atau tua? Apakah ia cantik atau tidak? Apakah ia berpakaian tertutup atau terbuka? Semua riwayat juga tidak menjelaskan alasan Nabi menoleh kepada perempuan itu, memperhatikannya, dan meninggalkan semua pembicaraan.

Lepas dari pembicaraan penting yang sedang terjadi antara Nabi dan para sahabat, siapa pun tidak pantas meninggalkan sebuah majlis sekadar untuk menunaikan "hajat" pada istrinya kemudian kembali ke majlis, seolah tidak terjadi apa pun. Perilaku seperti ini tidak mungkin terjadi pada Nabi. Sikap ini mengandung penghinaan terhadap tamu—jika ia tuan rumah—, terhadap tuan rumah—jika ia tamu—, atau terhadap majlis—jika mereka berkumpul di masjid atau di tempat umum lainnya. Hal-hal seperti ini tidak dijelaskan dalam hadis di atas.

Nabi masuk menemui Zainab, sesuai teks hadis di atas, "kemudian menunaikan 'hajat' pada Zainab dan segera keluar menemui para sahabat..." Teks hadis ini, dengan berbagai riwayatnya, mengesankan bahwa Nabi menemui Zainab hanya dalam waktu yang singkat. Ketika ia keluar, para sahabat masih dalam kondisi duduk di tempat semula. Ini berarti sang laki-laki datang dengan cepat kepada istrinya, kemudian menyetubuhinya, dan mengalami orgasme dalam waktu singkat. Setelah itu, ia segera kembali kepada para sahabat untuk meneruskan perbincangan. Sikap seperti ini juga bukan watak Nabi dan bukan watak laki-laki mana pun yang menghargai diri sendiri, menghargai istri, dan mempergauli istri dengan baik.

Nabi sendiri pernah bersabda, "Seseorang jangan menyetubuhi istrinya seperti hewan. Hendaknya ada rasûl di antara mereka". Para sahabat bertanya, "Apa yang dimaksud dengan rasûl?" Ia menjawab, "Ciuman dan rayuan". Dalam riwayat Anas ibn Malik, Nabi berkata, "Ada tiga kelemahan seorang laki-laki..." Ia menyebutkan di antaranya adalah "Seorang laki-laki mendekati istrinya kemudia menyetubuhinya tanpa cumbu rayu. Ia menyetubuhi istrinya dan mencapai orgasme sebelum sang istri mencapai orgasme".

Mungkinkah Nabi melarang sesuatu tapi ia melakukannya? Tampaknya petunjuk Nabi dalam hal ini dapat kita lihat dalam penjelasan Imam Abu Hamid al-Ghazali, "Jika seseorang bersetubuh dengan istrinya, hendaknya ia memperlambat orgasmenya hingga sang istri mencapai orgasme. Orgasme sang istri bisa jadi lebih lambat. Jika ia tinggalkan sebelum sang istri mencapai orgasme, dorongan syahwatnya tidak akan terpenuhi. Dengan demikian ia telah menyakiti sang istri. Perbedaan waktu datangnya orgasme ini membuat ketidaknyamanan ketika suami telah orgasme lebih dahulu. Orgasme secara berbarengang lebih memberikan kenikmatan bagi sang istri. Seorang suami tidak boleh egois. Bisa jadi istri merasa malu dalam hal ini. Maka, sang suami harus dapat memahaminya ".

Inilah penjelasan yang sangat gamblang bahwa seorang suami tidak boleh cepat-cepat mencapai orgasme dan meninggalkan tempat tidur sebelum sang istri mencapai oragasme. Jika hal ini berlaku bagi laki-laki biasa, apakah mungkin Nabi memperbolehkan dirinya untuk cepat-cepat mencapai orgasme tanpa mempedulikan istrinya?

Apa yang sedang dilakukan oleh Zainab ketika Nabi menemuinya? Apakah ia sedang sibuk dengan urusan rumah tangga atau sibuk dengan urusan agama? Dalam dua kondisi itu, apakah suaminya boleh datang kepadanya untuk mengajak berhubungan badan dan ia harus meninggalkan apa yang sedang ia lakukan? Setelah beberapa saat, sang suami keluar menemui para sahabat. Apa yang Zainab lakukan kemudian? Apakah ia meneruskan kesibukannya dan seolah tidak terjadi apa pun? Benar Nabi, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, pernah bersabda, "Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur (untuk berhubungan badan), tapi sang istri menolak, maka para malaikat akan mengutuknya sampai pagi". Tapi hadis ini mengandung pengertian bahwa sang suami mengajak istrinya pada malam hari karena ada bukti kalimat "sampai pagi". Jika sang suami datang secara mendadak, langsung mengajak istrinya berhubungan badan, dan sang istri menolak, apakah para malaikat tetap akan mengutuknya?!

Hadis di atas juga tidak menjelaskan apakah Nabi mandi setelah berhubungan badan dengan Zainab. Teks hadis itu menegaskan bahwa Nabi segera menemui para sahabat kembali dan tidak menjelaskan ada waktu luang untuk mandi. Apakah hal ini berhubungan dengan keinginan Nabi untuk segera menyelesaikan tema pembicaraan hingga ia lupa mandi? Atau, sekadar ingin cepat menemui para sahabatnya agar dapat mengikuti tema penting yang sedang dibicarakan? Atau, ia ingin segera menjelaskan perilakunya yang sangat cepat itu kepada mereka?

Sesuatu yang lebih penting dari itu semua adalah, dalam hadis di atas, Nabi tampak lemah berhadapan dengan sesuatu yang datang darin luar dirinya (faktor eksternal), yaitu setan. Dalam hadis itu Nabi berkata, "Sungguh perempuan datang menyerupai setan. Barangsiapa merasakan sesuatu karenanya, hendaknya ia menemui (menyetubuhi) istrinya. Yang demikian itu akan meredam hasrat (seksual) yang ada dalam jiwanya". Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Albani disebutkan, "Ketika perempuan datang, ia datang menyerupai setan. Jika kalian melihat perempuan dan terpesona, hendaknya kalian menemui istri karena pada istri kalian ada sesuatu yang ada pada perempuan itu".

Menyamakan perempuan dengan setan adalah pelecehan yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang yang ma'shûm (terhindar dari perbuatan tercela dan dosa). Dia tidak pernah berbicara berdasarkan nafsu. Menyamakan perempuan dengan setan selalu ada dalam agama-agama tauhid, baik dalam Islam, Kristen, dan Yahudi. Penyamaan ini kadang kala sangat tidak masuk akal. Contohnya adalah hadis Nabi riwayat Muslim yang menyatakan, "Waspadalah terhadap dunia. Waspadalah terhadap perempuan. Sungguh, kerusakan pertama yang terjadi pada Bani Israel adalah karena perempuan". Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dan Tirmidzi, "Aku tidak meninggalkan ujian yang paling berbahaya bagi laki-laki daripada perempuan".

Poin terakhir yang akan kita bahas adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Albani, "Ketika perempuan datang, ia datang menyerupai setan. Jika kalian melihat perempuan dan terpesona, hendaknya kalian menemui istri karena pada istri kalian ada sesuatu yang ada pada perempuan itu". Hadis ini mengandung pelecehan kemanusiaan terhadap perempuan. Hadis ini memberikan pengertian bahwa jika seorang laki-laki tertarik (secara seksual) pada seorang perempuan, hendaknya ia menemui istrinya. Karena, pada istrinya ada anggota tubuh yang sama dengan anggota tubuh yang diinginkan pada perempuan itu. Bukankah ini berarti menggeser status perempuan dari manusia yang istimewa menjadi sesuatu laksana barang? Apakah perempuan hanya diinginkan karena tubuh (fisik)-nya? Apakah ucapan, interaksi, kelembutan, akal, dan jiwa perempuan tidak ada gunanya dalan hubungan seksual?

Akal yang sehat tentu tidak akan menerima sikap seperti itu terhadap perempuan. Seorang Nabi yang berjiwa pendidik, arif, dan pemimpin umat tidak mungkin memperlakukan perempuan seperti gambaran yang ada dalam hadis-hadis misoginis di atas. Hadis-hadis misoginis itu pun bertentangan dengan puluhan hadis yang menegaskan keharusan menghormati dan menghargai perempuan. Pertanyaanya: apakah hadis-hadis misoginis itu sahih? Apakah Nabi melakukan itu semua kemudian mengucapkan hadis-hadis misoginis? Ada dua jawaban: "ya" atau "tidak". Jawaban yang pertama berarti pelecehan terhadap sosok Nabi yang dicintai dan dimuliakan. Jawaban yang kedua adalah yang benar.

Tampaknya kita harus berani mempertanyakan sikap para peneliti muslim yang menggaggap hadis sebagai sumber kebenaran sejarah. Kita harus berani memulai penelitian terhadap wacana kenabian sebagai sumber perdana yang lahir dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Kita harus meletakkannya dalam bingkai analisa rasional dan logis. Kita harus mengembalikan wacana kenabian pada kondisi ruang dan waktunya. Kita tidak perlu menjadikannya sebagai kaidah bagi perilaku kita hari ini secara membabi-buta. Kita tidak perlu bercermin padanya secara serampangan. Kita tidak perlu mejadikannya sebagai sumber hukum, akhlak, dan sosial. Andai Nabi Muhammad hari ini diutus kembali kepada kita, sebagai masyarakat manusia, pasti ia akan menggunakan cara yang rasional dalam memahami apa yang dulu pernah ia ucapkan. Dan ternyata, sebagian besar peninggalan sejarah ini (turâts) penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moral yang luhur.

Sabtu, 14 November 2009

Humanisme dalam Lirik Lagu Iwan Fals

Setiap kali mendengar lagu-lagu Iwan Fals (selanjutnya disingkat IF), banyak orang yang sejenak tersadar akan kondisi sosial tanah air. Orang suka, gemar dan gandrung pada IF karena lagu-lagunya mudah dicerna dan mengandung pesan-pesan humanis yang mendalam. Lirik-lirik lagunya bagaikan kolaborasi antara ayat-ayat Tuhan dan resonansi kondisi sosial Indonesia sendiri. Karena itu, ada orang yang menganggap IF “utusan Tuhan” untuk rakyat Indonesia.

Tentu ada banyak alasan menyebut IF “utusan Tuhan”. Yang terpenting adalah kandungan renungan dan penghayatan subjektif atas lagu-lagu, serta karakter pribadinya. Kita mungkin tidak hafal betul tahun berapa tiap lagu IF diciptakan. Mungkin itu tak penting. Yang lebih penting adalah menghafal inti pesan yang terkandung dalam lirik-liriknya. Karena itu, sebagian besar lagu IF begitu melekat di kepala banyak orang. Melalui lagu-lagunya, kesadaran akan kondisi sosial-politik Indonesia mudah terkonstruksi di kepala Orang Indonesia (OI). IF mungkin bisa disebut guru sosiologi terbaik, paling tidak bagi Orang Indonesia.

Dari lirik lagu-lagunya, orang mudah menilai IF sebagai sosok “pemberontak”. Dia pemberontak terhadap kondisi sosial politik yang sebenarnya tak terlalu rumit untuk diurai. Setiap nurani yang hidup akan mudah menemukan bahwa “di sini” ada ketidakadilan, penindasan, dan, kerusakan moral. Hanya saja, ketidakjujuran memperumit semua itu, sehingga orang tak mampu mengatakannya. Kita lalu serempak terserang amnesia ketika berhadapan dengan nilai-nilai. Karena itu, yang menonjol di negeri ini adalah para penjilat, durno, kancil, bandit, karet, bunglon, dan lain-lain.

Kelebihan lirik lagu IF yang paling mencolok adalah kenyataan bahwa ia tidak lahir dari ruang hampa. Lirik-liriknya lahir dari hasil jepretan atas kondisi sosial politik Indonesia sendiri, dengan penggunaan kata-kata sederhana, telanjang, dan kadang-kadang jenaka. Hampir seluruh profesi sosial orang Indonesia pernah dipotret secara sederhana tapi tetap mendalam oleh IF. IF mampu menyampaikan potret sosial itu dengan kata-kata yang mudah dicerna bahkan oleh nalar orang awam sekalipun. IF mampu melihat sisi yang manusiawi dari suatu profesi yang oleh kebanyakan orang dianggap sampah. Contohnya adalah gambarannya tentang profesi pelacur atau yang kini lebih dikenal sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK).

Sebagian besar kita hanya melihat PSK sebagai sampah masyarakat. Para agamawan juga ikut aktif menstigma profesi dan eksistensi mereka. Tapi IF mampu mengungkap kenyataan bahwa di antara mereka terdapat perempuan-perempuan yang berjuang untuk anak-anak mereka yang tak jelas rimba ayahnya. Bahkan IF memberi harapan bahwa Tuhan akan tetap mendengar doa mereka. Cermati lagunya yang berjudul Doa Seorang Wanita Pengobral Dosa. Pandangan yang humanis ini tentu tak akan kita temukan pada diri orang yang tak punya kesadaran sosial dan spiritual yang mendalam.

Dalam politik, orang mungkin akan mencemooh IF andai dia menjadi seorang politisi. Pandangan-pandangan politik yang ada dalam lagu-lagunya tidak akan dijadikan mars oleh para demonstran jika dia ikut dalam “dunia pestapora para binatang”. IF akan segera disejajarkan dengan mereka yang senang “bermain lompat karet”. Kenyataannya, IF betul-betul menunjukkan karakternya dalam menyikapi kondisi sosial politik berhadapan dengan pamor dirinya. IF betul-betul “patah arang” terhadap politik. Bagi IF, panggung politik adalah panggung para binatang yang merasa diri sebagai bintang (Asyik Gak Asyik).

Padahal, jika mau, dengan wibawa dan popularitasnya, partai manapun akan siap menerima IF sebagai bagian dari elitnya. Bahkan mendirikan partai pun bisa ia lakukan, walau belum tentu jadi besar. Dan itu berarti hasrat untuk memperkaya diri akan menemukan jalurnya, sebagaimana banyak dilakukan para belalang (Belalang Tua). Namun, kekuatan karakter yang ada dalam dirinya dengan keras membimbing IF agar tidak tergiur ikut pesta. Di era reformasi (katanya), lagu-lagunya yang terbundel dalam album terakhir, Manusia Setengah Dewa, mempertegas sikap sosial politik dan karakter dirinya sebagai seorang “utusan Tuhan”.

Hal yang mengagumkan dalam diri IF adalah kematangan diri yang sulit kita temukan dalam diri kebanyakan orang. Dia adalah “utusan Tuhan” yang menerima wahyu non-evaluatif untuk disampaikan kepada masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat manusia. Walau lirik dalam lagu-lagunya begitu kental pesan-pesan moral (di balik kritik sosial pasti ada pesan moral) yang realistik dan eternal, namun kerendahan hati dan ketenangan tampak begitu inheren dalam dirinya akhir-akhir ini. Gaya bicara yang tak lantang (baca: pongah) lagi, menunjukkan bahwa IF sadar bahwa dirinya bukanlah manusia setengah dewa.

Dia tak berpretensi bahwa untuk membenahi kondisi sosial politik di Indonesia cukup dengan bernyanyi. Ini membuatnya tidak pernah geer. Namun, pergulatan batin yang dahsyat tentang ketimpangan sosial yang terjadi di Bumi Pertiwi, tetap ia suarakan dengan lantang lewat lagu. Kelantangan itu seolah ia cukupkan diwakili oleh lagu. Sikap diri seorang IF, jika harus diberi tanda, maka tak lain adalah konsistensi dan integritas.

Mendengarkan lagu-lagu cinta IF, kita akan menangkap bahwa cinta yang dihayatinya adalah cinta orang-orang marjinal. Itu bisa kita lihat dalam lagu-lagu seperti Lonteku, Kembang Pete, Yakinlah (duet bersama Eli Sunarya) dan lain-lain. Itulah cinta yang jujur, dalam, dan kere. Saking kere-nya, seorang lelaki hanya mampu mempersembahkan kembang pete kepada perempuan pujaannya. Keberpihakan IF pada rakyat kecil nan marjinal begitu jujur dan mendarahdaging. Dalam lagu-lagu cinta pun ia memilih potret cinta-cinta orang pinggiran.

Dalam lagu, orang biasanya bicara tentang cinta yang mengandaikan keserbacukupan materi; cinta yang membuat kebanyakan orang Indonesia menjadi lupa akan kondisi sosialnya; cinta yang cengeng, genit, glamor dan norak. Perhatikan kebanyakan lagu-lagu cinta yang dinyayikan di negeri ini; tidak pernah dewasa.

Seorang kawan pernah menyatakan ketidaksetujuannya pada IF, karena dia pernah mengeritik Tuhan dalam salah satu syair lagunya, Tolong Dengar Tuhan! Lagu itu ia nyanyikan setelah meletusnya gunung Galunggung di Tasikmalaya. Jika disikapi dengan nalar terbuka, lagu itu justru merupakan ekspresi penghayatan tentang alam semesta dan Tuhan yang dialami oleh orang yang bebas dan berani. Dalam dunia filsafat, penghayatan seperti itu justru banyak diungkapkan oleh para filsuf. Penghayatan inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya teologi atroposentris.

Jadi, menghayati isi lagu-lagu IF, kita akan menemukan kecenderungan humanisme yang kuat. Humanisme yang dari zaman ke zaman selalu disuarakan oleh para utusan Tuhan. Kini dan di sini, IF adalah utusan Tuhan yang diabaikan! (Taufik Damas)

QS: 6 (49) + Kejujuran

Ayat ke-6 dari surah al-Hujurât (49) selalu diterjemahkan, ''Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan itu". Sekilas terjemah ayat ini tidak bermasalah. Namun, jika dipikirkan lebih jauh, terjemah ayat seperti ini mengandung masalah yang perlu mendapatkan perhatian. Sumber masalahnya terletak pada kata fâsiq yang secara sederhana didefinisikan sebagai orang yang tidak taat pada aturan agama.

Pertanyaannya: jika berita yang datang dari orang fasiq tidak dapat dipercaya, dalam kehidupan nyata, siapa yang dimaksud dengan orang fasiq? Ketika ada orang yang tidak taat pada ajaran agama (tidak melakukan shalat, misalnya), apakah berita yang ia sampaikan pasti berita dusta? Sebaliknya, jika orang taat pada ajaran agama, apakah dapat dipastikan bahwa berita yang ia sampaikan pasti benar adanya?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini memang tidak dapat memakai logika hitam di atas putih. Lalu, mengapa ayat di atas mengesankan bahwa kita harus melakukan klarifikasi hanya terhadap berita yang datang dari orang fasiq? Di sinilah letak masalahnya. Terjemah ayat di atas mengandung masalah karena tidak teliti dalam memahami kalimat yang digunakan al-Qur'an pada ayat di atas. Kata fâsiq pada ayat di atas tidak boleh diterjemahkan secara terpisah dari kata selanjutnya, yaitu kata bi an-naba'.

Kata fâsiq pada ayat di atas tidak dapat diterjemahkan sebagai orang fasiq. Ketika digabungkan, maka kata itu menjadi fâsiq bi an-naba' yang artinya adalah orang yang terlibat dalam satu perkara (saksi mata atau pelaku). Ketika ia keluar, ia membawa berita tentang perkara yang ia alami secara langsung. Orang seperti inilah yang layak dijadikan sumber klarifikasi (tabâyun) dalam perkara tersebut. Jadi terjemah ayat di atas yang tepat adalah, "Wahai orang-orang yang beriman. Jika seorang saksi mata atau pelaku (perkara tertentu) datang kepada kalian, lakukanlah klarifikasi (tabâyun) agar kalian tidak menuduh (mendakwa) satu kaum (atau seseorang) berdasarkan kebodohan (karena tidak mendapatkan irformasi faktual). Jika itu terjadi (mendakwa tanpa dasar yang kuat), maka kalian akan menyesal atas apa yang telah kalian lakukan".

Akar kata fâsiq adalah fa-sa-qa. Dalam bahasa Arab akar kata ini juga digunakan untuk fenomena keluarnya biji kurma dari daging kurma. Jadi, kata fâsiq bi an-naba' memiliki arti yang sangat penting bagi dunia peradilan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya: polisi, jaksa, dan termasuk KPK.

Semangat klarifikasi yang dianjurkan dalam ayat ini adalah keniscayaan dalam proses menegakkan keadilan. Apalagi di saat sekarang ini, di mana terjadi ketegangan antara KPK dan Polri. Sungguh, hanya semangat klarifikasi dan kejujuran yang dapat memberikan ketenangan serta melahirkan kepastian hukum yang adil. Dengan demikian masyarakat tidak akan terseret pada semangat dukung-mendukung yang tidak didasarkan pada kebenaran. (Taufik Damas).

Jumat, 13 November 2009

Diam Itu Emas

Memilih sikap diam (tidak berkomentar) ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan. Banyak orang tidak mampu diam karena faktor-faktor tertentu. Status sosial, jabatan, dan gelar adalah bagian dari faktor yang menyebabkan orang sangat sulit memilih sikap diam. Komentar tentu dibutuhkan dari orang yang menguasai masalah. Akurasi komentar sangat membantu menyelesaikan problem yang sedang dihadapi, apalagi menyangkut hajat hidup masyarakat luas. Selain akurasi, komentar harus didorong oleh semangat mencari jalan keluar yang tepat dan benar.

Tidak semua orang layak berkomentar dan tidak ada orang yang memiliki kemampuan mengomentari semua masalah. Ada sepesifikasi yang membuat orang hanya mampu mengomentari masalah tertentu, tidak yang lainnya. Dalam hal ini tentu dibutuhkan kerendahan hati agar tidak mengomentari sesuatu yang tidak dipahami secara pasti. Baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Allah berfirman, "Jangan mengomentari (atau menyikapi) sesuatu yang tidak engkau pahami. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati akan diminta pertanggungjawaban semuanya". (QS. 17:36)

Penglihatan dan pendengaran adalah pintu masuk ilmu pengetahuan bagi manusia. Dengan dua indra ini manusia mampu memahami apa yang begerak di sekitarnya. Namun, untuk mengomentari masalah tertentu, manusia dituntut menggunakan hati (nurani) yang cenderung pada kejujuran. Tanpa bimbingan hati nurani, kebenaran yang ditangkap oleh penglihatan dan pendengaran bisa jadi dibelokkan. Dalam ayat di atas Allah menegaskan bahwa pendengaran, penglihatan, dan hati nurani akan dituntut pertanggungjawaban.

Secara eksplisit Allah menuntut manusia untuk tidak memberikan komentar terhadap sesuatu yang tidak dipahami secara pasti. Ada implikasi negatif jika komentar hanya didasari oleh dorongan nafsu. Kehidupan akan semakin kacau karena komentar yang tidak didasari oleh sinaran ilmu pengetahuan dan hati nurani. Rasulullah Saw. menegaskan, "Jika satu masalah diserahkan kepada orang yang tidak memiliki kompetensi, maka tunggu saat kehancurannya". (HR. Bukhari).

Banyak orang yang tidak mampu menyadari bahwa dirinya tidak layak memberikan komentar untuk masalah tertentu. Perasaan gengsi dan ingin tampak menonjol menjadi faktor penyebabnya. Ironinya, fenomena seperti ini juga merambah ke dalam wilayah agama. Akibatnya, sebagai pelita kehidupan, kadangkala agama justru membuat masyarakat bimbang dan kebingungan karena disampaikan oleh orang-orang yang tidak menguasai ilmu agama. Sekadar mengungkapkan ayat dan hadis, segala masalah seolah dapat dituntaskan. Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Akan datang tahun-tahun penuh penipuan pada manusia: pembohong dianggap benar dan orang yang benar dianggap pembohong; orang yang setia dianggap pengkhianat dan pengkhianat dianggap orang yang setia. Pada saat itu akan ada banyak ruwaybidhah". Para sahabat bertanya, "Apa yang dimaksud dengan ruwaybidhah, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang pandir yang banyak bicara soal urusan masyarakat". (HR. Ibnu Majah). (Taufik Damas)

Selera Humor Rasulullah Saw.

Anas ibn Malik meriwayatkan hadis tentang sahabat bertubuh cebol bernama Zahir ibn Haram. Zahir tinggal di desa, bukan di kota bersama Rasulullah dan sahabat lainnya. Zahir rajin mengunjungi Rasulullah dan selalu membawakan buah tangan dari desanya. Sebaliknya, jika Zahir hendak kembali, Rasulullah selalu membekalinya dengan oleh-oleh. Karena proses interaksi yang baik ini, Rasulullah pernah berkata, “Zahir adalah orang desa bagi kita, dan kita orang kota bagi Zahir”.

Pernah terjadi kisah menarik antara Rasulullah dan Zahir, tepatnya kisah humor. Suatu hari Zahir sedang berdagang di pasar berteriak menjajakan barang dagangannya. Ketika itu Rasulullah datang dari arah belakang Zahir. Dengan sigap Rasulullah memeluk dan mengangkat tubuh Zahir dari belakang. Zahir tidak tahu siapa orang yang “main-main” dengannya. Ia berontak sambil berusaha melihat ke belakang. Ketika matanya menangkap wajah Rasulullah, ia justru mempererat pelukannya dengan merangkulkan tangan ke belakang tubuh Rasulullah. Kini Rasulullah yang kewalahan karena tidak dapat melepaskan dekapan Zahir. Tidak habis akal, Rasulullah teriak, “Budak, budak. Siapa yang mau beli budak?!”

Tersinggungkah Zahir dengan canda Rasulullah? Tentu tidak. Zahir malah berkata, “Aku tidak akan laku, wahai Nabiyullah”. “Kalau pun aku benar-benar budak, siapa yang mau membeli budak cebol seperti aku”. Demikian kira-kira makna ucapan Zahir. Mendengar ucapannya, Rasulullah lantas menghiburnya dengan berkata, “Tapi engkau mahal di hadapan Allah”. (Shahîh Ibnu Hibban).

Humor yang ada dalam hadis di atas masuk dalam kategori humor sarkastik, yaitu humor yang mengandung celaan terhadap orang yang dijadikan obyek humor. Walau dicela, orang tidak akan marah karena menyadari bahwa celaan itu dalam konteks bercanda. Humor model ini justru sering menciptakan keakraban luar biasa pada orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Ketika bicara soal agama, orang sering terkesan kaku dan anti humor. Sebagian orang bahkan menganggap humor itu tidak ada dalam agama. Rasulullah digambarkan sebagai sosok yang sangat kaku dalam berinteraksi hingga tidak pernah terbahak. Saya tidak dapat membayangkan Rasulullah tidak terbahak ketika memperlakukan Zahir ibn Haram seperti itu. Jenis humor yang ia lakukan sangat mungkin membuatnya terpingkal.

Dalam hadis lain diceritakan bahwa Rasulullah pernah mencandai seorang nenek. Ketika nenek itu bertanya apakah dirinya akan masuk surga, Rasulullah menjawab bahwa nenek tidak akan masuk surga. Sang nenek kemudian menangis sesegukan. Rasulullah lantas mengutus seseorang kepada nenek tersebut untuk memberitahukan bahwa ia akan masuk surga, hanya saja dalam bentuk seorang gadis. Inna al-jannata lâ yadkhuluhâ ajûzun (Di surga tidak ada nenek-nenek). (HR. Thabrani dan Baihaqi).

Dari dua kisah humor Rasulullah di atas, kita dapat mengambil pelajaran penting bahwa Islam dapat disampaikan dengan cara yang sangat santai dan humoris. Jika Rasulullah memiliki selera humor yang tinggi, mengapa kita tidak mencontohnya? Taufik Damas.

Kebenaran Pasti Menang!

Pernahkah Anda mendengar nama Umarah ibn al-Walid ibn al-Mughirah? Pada masa awal Islam ada kisah unik yang berhubungan dengan Umarah ibn al-Walid ibn al-Mughirah. Umarah digambarkan sebagai seorang pemuda yang tampan, menarik, dan lebih muda dari Rasulullah Saw. Atas dasar inilah orang-orang kafir Qurays memilihnya untuk ditukar dengan Rasulullah (rajulun bi rajulin).

Setelah orang-orang Qurays benar-benar merasa benci pada dakwah Rasulullah, mereka melakukan berbagai cara untuk menghentikan dakwahnya. Rayuan, pendustaan, pelecehan, dan penyiksaan telah mereka lakukan untuk membungkam Rasulullah. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah mendekati Abu Thalib, paman Rasulullah.

Mereka datang kepada Abu Thalib dan menawarkan solusi lucu kepadanya. Mereka mengajak Abu Thalib menukar Rasulullah dengan Umarah. Mereka menyerahkan Umarah kepada Abu Thalib dan Abu Thalib menyerahkan Rasulullah kepada mereka. Mereka mengharapkan Abu Thalib mengangkat Umarah menjadi anaknya sebagai ganti Rasulullah yang ia cintai. Dan, mereka menerima Rasulullah untuk kemudian mereka bunuh.

Mendengar tawaran mereka, Abu Thalib terkejut keheranan. Bagaimana mungkin mereka berpikir mengajukan tawaran sebodoh itu?! Dan jelas, dengan lantang Abu Thalib menolak tawaran mereka. "Tidak mungkin aku menyerahkan Muhammad untuk kalian bunuh, sementara kalian menyerahkan Umarah ibn al-Walid ibn al-Mughirah untuk aku jadikan anak!" demikian sikap Abu Thalib terhadap tawaran mereka. Salah satu tokoh Qurays yang ikut mengajukan tawaran ini adalah al-Walid ibn al-Mughirah yang tidak lain adalah ayah kandung Umarah sendiri.

Berkenaan dengan tawaran bodoh ini, dan kejahatan-kejahatan kafir Qurays lainnya, Allah menurunkan wahyu yang mengecam mereka, terutama al-Walid ibn al-Mughirah: QS. Al-Mudatstsir (74): 11-30.

Kita mungkin bertanya, mengapa orang-orang kafir Qurays sampai berpikir membuat tawaran sebodoh itu? Apakah mereka membayangkan bahwa Abu Thalib, paman Rasulullah, akan menerima tawaran itu karena ia masih setia pada agama lamanya seperti mereka? Atau, apakah mereka berpikir Abu Thalib akan menerimanya karena ia akan mendapatkan Umarah ibn al-Walid ibn al-Mughirah yang tampan dan lebih muda dari Rasulullah? Bisa jadi demikianlah pertimbangan mereka. Mereka tidak menyangka, walau Abu Thalib bukan pengikut Rasulullah, ia tetap setia pada akal sehatnya.

Apapun pertimbangan mereka, tawaran itu adalah bukti kebodohan dan kepanikan di hadapan sesuatu yang tidak dapat mereka bendung (kebenaran). Membenci sesuatu yang salah tentu masuk akal. Sebaliknya, kebencian terhadap kebenaran melahirkan sikap panik dan menyedihkan dari pelakunya. Apapun akan ia lakukan dalam rangka berusaha meredam kebenaran.

Kadangkala sikap panik itu mendorong orang melakukan tindakan destruktif yang merugikan orang-orang di sekitarnya. Harapan mendapatkan keuntungan, yang datang justru kerugian. Inilah yang dialami oleh orang-orang kafir Qurays ketika mereka menentang kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah. Siapa pun yang menentang kebenaran pasti akan kalah dan menjadi pesakitan. (Taufik Damas)

Hakikat Kebangkrutan

Rasulullah SAW. bertanya kepada para sahabat, “Apa yang dimaksud dengan orang yang bangkrut (al-muflis)?”
Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut adalah orang yang hartanya ludes”.
Kata Rasulullah SAW, “Sesungguhnya orang yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Akan tetapi dia pernah mencaci orang lain, mengambil harta orang lain, melukai orang lain, dan menyakiti orang lain. Maka, pahala (shalat, puasa, dan zakat [ibadah]) yang ia dapatkan akan diserahkan kepada orang-orang yang pernah ia zalimi. Jika pahalanya habis (untuk membayar dosa-dosa sosial yang pernah ia lakukan) maka dosa orang-orang itu akan diambil kemudian dibebankan kepadanya hingga ia tersungkur ke dalam neraka!” (HR. Muslim)

Dalam hadis ini Rasulullah SAW menjelaskan makna al-muflis (orang yang bangkrut) dengan metode bertanya. Dalam dunia pendidikan, metode ini diyakini memiliki kekuatan tersendiri dalam menanamkan pemahaman kepada peserta didik. Ada yang ingin ditegaskan oleh Rasulullah SAW untuk dipahami oleh para sahabatnya hingga ia memilih pola pembelajaran yang dimulai dengan pertanyaan.

Konteks keluarnya hadis ini adalah kondisi yang terjangkit oleh indikasi “tidak sehat” yang mungkin ada dalam jiwa dan pikiran masyarakat. Atau, sebagai upaya antisipasi kemungkinan terjadinya kesalahpahaman mereka terhadap ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.

Hadis di atas menyentak kesadaran kita agar tidak terjerumus pada materialisme. Yang ditanyakan oleh Rasulullah SAW adalah sesuatu yang sangat dekat dengan paradigma materialisme: orang yang bangkrut. Orang yang bangkrut akan selalu diandaikan sebagai orang yang gagal dalam mengembangkan bisnis atau perdagangan. Orang yang bukan saja tidak mendapatkan untung, tapi juga kehilangan modal. Dalam konteks ini, jawaban para sahabat sama sekali tidak keliru.

Tapi, Rasulullah memberikan penjelasan lain tentang makna orang yang bangkrut. Penjelasan ini menghentak kesadaran mereka bahwa orang yang bangkrut adalah orang yang kehilangan pahala akibat kezaliman yang ia lakukan. Orang tersebut telah mendapatkan pahala dari ibadah-ibadah yang ia lakukan, baik shalat, puasa, dan zakat. Namun, karena sering melakukan kezaliman terhadap orang lain maka ia harus menanggung akibat yang sangat merugikan. Bukan hanya itu, ia bahkan harus menanggung dosa-dosa yang diambilkan dari orang-orang yang pernah ia zalimi karena pahalanya sudah tidak cukup untuk menutup kezaliman yang pernah ia lakukan.

Shalat, puasa, dan zakat yang disebut dalam hadis adalah simbol dari ibadah mahdhah (murni). Islam memang mewajibkan semua itu. Motivasi hukum ini kemudian mendorong umat Islam untuk melakukannya dan takut meninggalkannya. Mereka menyadari bahwa kewajiban melakukan itu semua bersumber dari Allah. Jika mereka tidak melakukan, maka Allah akan murka dan menyiksa. Jika mereka melakukan, maka Allah akan memberikan pahala.

Ibadah (agama) yang Allah ajarkan sejatinya untuk kebaikan manusia, bukan untuk Allah yang Mahakaya dan Mahakuasa. Salah satu misi Muhammad sebagai seorang Rasul adalah mengubah bentuk ibadah dan keyakinan masyarakat Mekah. Ketika itu, sebagaimana kita tahu, mereka menyembah berhala-berhala. Apa yang salah dari para penyembah berhala? Rugikah Tuhan karena mereka menyembah berhala? Sama sekali tidak. Lalu mengapa Allah memerintahkan Rasulullah mengubah keyakinan mereka? Ada pelecehan kemanusiaan dalam penyembahan terhadap berhala. Manusia adalah makhluk paling mulia, mengapa harus menyembah sesuatu yang lebih rendah dari dirinya? Secara sosiologis penyembahan berhala mengandung penindasan terhadap masyarakat dan melahirkan kultur feodalistik yang tidak sehat.

Islam datang menebarkan pesan tauhid. Berhala-berhala itu bukan Tuhan. Tuhan adalah esa, gaib, ikonoklasme, dan tak mengenal kasta. Di hadapan Tuhan semua manusia setara. Islam datang melabrak konsepsi sosial yang melingkupi kegiatan penyembahan berhala. Ujung-ujungnya Islam ingin mempertegas kemanusiaan. Inilah gagasan yang teramat modern di zamannya. Maka, ketegangan dan konflik antara primitivitas dan modernitas tidak bisa dihindari.

Gagasan kemanusiaan (humanisme) terkandung begitu tegas dalam hadis di atas. Rasulullah mengeritik orang-orang yang terperangkap pada logika transaksional-fertikal dalam berhubungan dengan Allah. Orang-orang seperti ini cenderung mengabaikan hubungan kemanusiaan. Ada kecenderungan menganggap manusia tidak penting ketika ibadah-ibadah sudah ditunaikan. Tidak sedikit orang yang mengaku menyembah Allah, tapi sikap sosial mereka tidak jauh berbeda dengan para penyembah berhala. Bahkan, ada orang yang menyakiti manusia dengan dalih membela Tuhan.

Sehebat apa pun perilaku ibadah seseorang tidak akan ada artinya di hadapan Tuhan jika ia sering menyakiti orang lain. Tuhan sangat menghargai kemanusiaan. Inilah inti pesan yang ada dalam hadis di atas. Inilah yang dimaksud sebagai sesuatu yang sangat modern: menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme yang untuk memahaminya kita perlu terus belajar. Sebab, humanisme bukan dogma. Ia sebentuk temuan intelektual dan spiritual yang membutuhkan waktu cukup panjang.

Terakhir, pasca hari raya Idul Fitri kita sering mengadakan acara Halal bi Halal. Kegiatan ini hanya ada di Indonesia. Inilah tradisi muslim Indonesia karena Halal bi Halal tidak dikenal oleh masyarakat muslim selain muslim Indonesia. Hadis di atas sangat layak dijadikan landasan perlunya menciptakan tradisi Halal bi Halal yang makna sederhananya adalah saling memaafkan agar kita tidak mengalami kebangkrutan ukhrawi. (Taufik Damas)

Makna Puasa

Wahai orang-orang yang beriman, puasa telah diwajibkan pada kalian sebagaimana telah diwajibkan pada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. Pada hari-hari yang terbilang (ayyâm ma’dûdât) (Al-Baqarah: 183-184).

Kalimat ayyâm ma’dûdât memiliki arti beberapa hari. Dalam tradisi kebahasaan Arab, kata "beberapa (jama’)" cukup diwakili oleh jumlah tiga. Kewajiban menjalankan puasa selama sebulan penuh kita temukan dalam hadis Nabi. Hadislah yang menjadi penjelas kewajiban puasa berlaku sebulan penuh selama bulan Ramadhan. Salah satunya adalah riwayat Aisyah, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah melakukan shalat malam sampai pagi dan puasa sebulan penuh secara berturut-turut kecuali di bulan Ramadhan” (HR. Muslim).

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa melaksanakan puasa Ramadhan karena iman dan harapan (pada Allah) maka dosa-dosanya yang lalu pasti diampuni” (HR. Bukhari).

Bagaimana membuktikan bahwa puasa kita diterima oleh Allah dan dosa-dosa kita diampuni? Sulit menjawab pertanyaan ini secara pasti karena Allah tidak dapat diverifikasi. Meyakini sesuatu tentu tidak dilarang. Namun keyakinan kadangkala menyeret seseorang kepada kesombongan dan ritualisme yang tak berarti: ibadah-ibadah yang dilakukan tidak memiliki makna bagi kepribadian dan lingkungan.

Rasulullah memberikan semacam acuan batin untuk pelaku puasa. Daripada berpikir tentang penerimaan Allah akan puasa kita, jauh lebih baik melihat dan merasakan sejauh mana puasa memberikan dampak positif bagi kepribadian. Rasulullah bersabda, “Puasa adalah perisai. Jika kamu puasa, maka jangan berkata keji dan jangan bertindak bodoh. Jika seseorang menantangmu atau mencacimu, maka ucapkanlah, ‘aku sedang puasa’” (HR. Malik).

Puasa adalah perisai yang melindungi pelakunya dari ucapan dan perbuatan jahat. Orang yang melaksanakan puasa harus menjadi sosok yang baik dan toleran. Dalam hadis ini bahkan dicontohkan secara ekstrem: jika ada orang menantangmu atau mencacimu, maka ucapkanlah, "Aku sedang puasa".

Bercermin pada hadis ini, kita merasa heran bukan kepalang melihat fenomena arogansi dan kecaman jahat yang dilakukan oleh para pelaku puasa saat ini. Berpuasa, kemudian menindas orang yang tidak puasa. Berpuasa, kemudian mencaci orang yang tidak puasa. Berpuasa, kemudian menuduh orang yang tidak puasa sebagai tidak menghormati Ramadhan. Mengapa kebaikan yang diajarkan oleh Rasulullah tidak dapat kita hayati dan kita realisasikan?

Puasa diwajibkan agar pelakunya menjadi sosok yang bertakwa. Takwa adalah simbol kebajikan sosial, bukan hanya penampilan. Segala kebajikan adalah bagian dari ketakwaan. Orang bertakwa adalah orang yang gemar pada kebajikan, dalam bentuk apa pun dan diberlakukan kepada siapa pun. “Berapa banyak orang yang berpuasa tapi hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga. Berapa banyak orang yang melaksanakan ibadah malam tapi hanya mendapatkan kelelahan karena tidak tidur!”. (HR. Ahmad). Mari merenung!

(Taufik Damas)

Pidato Politik

Dalam Târîkh al-Khulafâ', Imam Suyuthi mengungkap tiga model pidato politik dalam sejarah Islam. Pidato itu disampaikan oleh tiga tokoh politik dalam rentang waktu berdekatan. Tapi, isi tiga pidato itu memiliki tekanan makna yang berbeda-beda.

Pada tahun 20 H Umar bin Khaththab menyampaikan pidato politik di atas mimbar di Madinah. Ketika ia sedang berbicara, seorang badui teriak, "Demi Allah. Jika kau melakukan menyimpangan, kami akan meluruskanmu dengan pedang!" Mendengar ucapan orang badui itu, Umar lantas mengucapkan kata-kata yang terkenal, "Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan orang yang akan meluruskan Umar dalam masyarakat".

Pada tahun 45 H Muawiyah menyampaikan pidato politik. Di tengah pidato Muawiyah, ada orang yang menyela, "Demi Allah. Jika kau melakukan penyimpangan, kami akan meluruskanmu". Muawiyah bertanya kepada orang itu, "Dengan apa?" Ia menjawab, "Dengan kayu". "Kalau begitu kami akan bersikap lurus", kata Muawiyah.

Pada tahun 75 H Abdul Malik bin Marwan menyampaikan pidato politik di Madinah. Abdul Malik berkata, "Demi Allah. Jangan ada orang yang berani menasehatiku untuk bertakwa kepada Allah. Jika ada yang berani, aku akan memenggal lehernya!" Kemudian ia turun dari mimbar.

Tiga model pidato politik ini sangat menarik untuk dicermati karena mengandung semangat yang berbeda. Pidato yang disampaikan oleh Umar didasari oleh ketulusan dan kejujuran. Hal ini terbukti oleh gaya kepemimpinannnya yang sangat adil dan bijaksana. Umar adalah sosok yang tegas dan berani. Ia dikenal memiliki etos pembeda (furqân) yang membuatnya mendapatkan gelar al-fârûq (sang pembeda). Begitu pula halnya dengan orang badui yang menyela pidato Umar. Ia menyampaikan pesannya dengan tulus hingga Umar merasa bersyukur.

Pidato yang disampaikan oleh Muawiyah hanya retorika. Tidak ada ketulusan dalam pidato itu. Apa yang ia sampaikan tidak benar-benar akan dilakukan. Dialog antara Muawiyah dan orang yang menyela pidatonya hanya sandiwara belaka. Memakai istilah politik saat ini, yang dilakukan oleh Muawiyah hanya demokrasi prosedural.

Pidato politik ketiga memiliki ketegasan dan kejelasan yang sama dengan pidato politik pertama namun memiliki semangat yang sangat berbeda. Ketegasan pidato yang ketiga justru didorong oleh otoritarianisme yang tidak menerima kritikan dari orang lain. Sekadar mengingatkan untuk bertakwa, orang akan diganjar dengan pedang.

Menjelang pemilu presiden di Indonesia, kita sering mendengar pidato politik melalui berbagai media massa. Kita berharap pidato politik itu disampaikan oleh para politisi yang merujuk kepada kejujuran dan ketulusan Umar bin Khaththab. Nabi Saw bersabda, "Ada tiga kelompok orang yang pasti masuk surga: ... penguasa yang adil, jujur, dan konsisten". (HR. Muslim).

Namun, tidak sedikit orang menilai bahwa semua pidato politik saat ini hanya retorika belaka: sekadar mementaskan demokrasi prosedural. Maka, rakyat harus memiliki kecerdasan dan keberanian politik untuk mengontrol sikap para politisi. "Jihad yang paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa yang lalim", begitu sabda Nabi Saw. dalam Sunan Abu Dawud. Dua hadis di atas harus dapat diamalkan oleh politisi dan rakyat biasa agar tidak ada dusta di antara kita. (Taufik Damas)

Koreksi Rasulullah Saw.

Suatu hari Rasulullah duduk bersama para sahabat, lalu ada orang yang berjalan dengan semangat. Salah seorang sahabat komentar, “Andai saja semangat itu terlihat dalam jihad di jalan Allah.” Mendengar hal itu beliau berkata, “Jika ia keluar untuk anaknya yang masih kecil maka hal itu sudah termasuk di jalan Allah. Jika ia keluar bekerja untuk orangtuanya yang sudah tua maka hal itu termasuk di jalan Allah. Jika ia keluar bekerja untuk dirinya guna menjaga kehormatan maka termasuk di jalan Allah. Namun, jika ia keluar karena riya dan menyombongkan diri maka ia berada di jalan setan.” (HR. Al-Thabrânî dalam al-Mu’jam al-Kabîr 19/129)

Dalam hadis ini Rasulullah jelas mengoreksi kesalahan seorang sahabat dalam memahami “ruang-juang” kehidupan yang memiliki nilai mulia dalam pandangan Allah. Sang sahabat begitu sempit memahami ruang-juang yang kemuliaan. Ia hanya melihatnya ada pada aktivitas “jihad” di medan perang. Ketika ia melihat orang yang berjalan dengan semangat, maka imajinasinya begitu mudah menghampiri panorama peperangan. Untung ketika itu masih ada Rasulullah hingga koreksinya terhadap pemahaman keliru sang sahabat menjadi efektif.

Sang sahabat pun menyadari kekeliruannya karena ia mendapatkan koreksi dari manusia yang “tidak bicara berdasarkan keinginannya, melainkan dari Tuhannya”. Dia menyadari kekeliruannya, kemudian pandangannya menjadi luas seluas cinta dan kasih Allah terhadap makhluknya.

Orang yang memandang ruang juang dalam hidup seperti sahabat dalam hadis di atas cukup bejibun. Figur sahabat dalam hadis itu menunjukkan bahwa Islam sangat rentan untuk dipahami secara keliru. Di zaman sekarang ini jumlah orang seperti sahabat itu jauh lebih banyak.

Rasulullah memang sudah tiada sejak berabad-abad yang lalu. Sebagian orang lantas tidak mampu menangkap pesan kemanusiaan yang pernah ia sampaikan. Pesan kemanusiaan itu seolah hilang bersama hilangnya Rasulullah dari panggung dunia. Mereka tidak mampu menghidupkan Rasulullah kembali dalam hati dan jiwa mereka. Ironinya, mereka tidak mampu menangkap pesan kemanusiaan itu justru di zaman yang sangat membutuhkan aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan.

Mereka yang tega melakukan tindak terorisme adalah orang-orang yang tidak mampu menangkap dan menebarkan nilai-nilai kemanusiaan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah. Bagi mereka hanya ada satu jalan untuk menggapai kemuliaan agama, yaitu perang atau menebarkan teror.

Dalam hadis di atas, jihad yang dimaksud oleh sang sahabat adalah perang yang konsekwensinya mengucurkan darah dan menghilangkan nyawa. Dalam sejarah, perang pernah dilakukan oleh masyarakat mana pun, tanpa kecuali. Secara umum, masyarakat dunia saat ini telah mengubur kecenderngan itu dalam-dalam. Perang fisik, cucuran darah, dan hilangnya nyawa adalah bagian dari sejarah yang tidak boleh terulang. Dalam konteks kekinian perang dan terorisme adalah anomali yang memalukan. Hidup harus diisi dengan aktivitas dan sikap keadaban. Itulah cermin manusia normal yang selalu terbimbing oleh akal sehat.

Kearifan Nabi Yusuf

Kisah Nabi Yusuf dinarasikan begitu apik dalam al-Quran dan disebut sebagai kisah yang paling indah (ahsan al-qashash). Pejalanan hidupnya digambarkan begitu dramatis dan sarat dengan ajaran moral. Walau akhirnya diangkat menjadi menteri, Nabi Yusuf mengalami cobaan hidup yang sangat berat sebelumnya. Ia pernah dibuang, dijadikan budak, dan masuk penjara. Inilah perbedaan Nabi Yusuf dibanding sebagian pejabat Indonesia saat ini. Nabi Yusuf jadi pejabat setelah masuk penjara (mengalami penderitaan), sementara sebagian pejabat diseret ke penjara setelah melepas jabatan.

Ada pelajaran penting yang dapat dipetik dari kearifan Nabi Yusuf. Ia diangkat jadi menteri (ekonomi) setelah berhasil memberikan solusi manajerial dalam menghadapi situasi krisis di jamannya. Dalam al-Quran dijelaskan, "Dia (Yusuf) berkata, 'Hendaknya kalian tetap bercocok-tanam selama tujuh tahun seperti biasa. Kemudian kalian boleh menuai hasilnya tapi sisakan sebagian. Makanlah sedikit saja (jangan kalian habiskan semua)'". (QS. 12: 47).

Berkat saran Nabi Yusuf ini bangsa Mesir mampu bertahan menghadapi krisis ekonomi yang cukup panjang. Solusi efektif ini tidak mungkin muncul dari orang yang tidak cerdas, jujur, dan memiliki komitmen pada masyarakat. Dalam konteks kekinian, saran itu dapat diterjemahkan sebagai ajakan untuk tidak terjerumus pada pola hidup materialistik-hedonis. Pola hidup seperti inilah yang mendorong orang melakukan tindak korupsi, manipulasi, pungli, dan suap yang menghabiskan uang negara dalam jumlah yang tidak sedikit.

Dalam menghadapi krisis global saat ini, para pemimpin (atau calon pemimpin) harus menyiapkan solusi manajerial yang efektif bagi bangsa. Bukan sekadar bertahan, tapi harus mampu membawa bangsa ini menjadi lebih maju di masa depan. Untuk itu dibutuhkan komitmen yang kuat, kejujuran, kecerdasan, dan kehendak bekerja keras untuk kemaslahatan bangsa.

Kita tidak membutuhkan slogan-slogan kosong yang tidak dapat diimplementasikan dengan baik dan bertanggung jawab. Masalah yang dihadapi oleh bangsa ini sangat berat untuk dapat berdiri tegak di hadapan bangsa lain. Berderet kasus harus diselesaikan berdasarkan perhitungan rasional dan transparan. Korupsi, kemiskinan, dan kebodohan adalah jejeran masalah yang harus diselesaikan agar bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat dan mandiri.

Yang kita butuhkan adalah sosok manajer seperti Nabi Yusuf. Pemimpin berkarakter seperti inilah yang akan membawa bangsa Indonesia ke arah kemajuan di segala bidang. Semua kebijakan yang diambil oleh pemimpin harus bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Sekadar mengukur komitmen para pemimpin terhadap kemaslahatan bangsa, pantas rasanya kita menghayati ucapan Khalifah Umar bin Khatab, "Jika ada kuda tergelincir di Irak, akulah yang bertanggung jawab!"

Bangsa yang beruntung adalah bangsa yang mampu meningkatkan taraf hidupnya. Hari ini harus lebih baik dari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Jika sebaliknya, maka bangsa kita akan menjadi bangsa yang merugi atau bahkan bangkrut. (Taufik Damas).

Sukses Lahir dan Batin

Sukse Lahir dan Batin

Suatu hari Rasulullah masuk masjid dan menemukan Abu Umamah. Rasulullah bertanya kepadanya, “Mengapa kau ada di sini, padahal sekarang bukan waktu shalat?”
Abu Umamah menjawab, “Aku sedang sedih dan gundah karena banyak utang”.
Rasulullah, “Maukah aku ajarkan kalimat (doa): jika kau ucapkan, Allah akan menghapuskan kesedihan dan melunasi utang-utangmu?”
Abu Umamah, “Tentu, wahai Rasulullah”.
Rasululllah, “Setiap pagi dan sore, ucapkanlah, ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perasan sedih dan gundah, dari sikap lemah dan malas, dari sikap pengecut dan bakhil, serta dari lilitan utang dan tekanan orang lain (semacam debt collector).’”

Abu Umamah berkata, “Aku lantas melakukan apa yang diajarkan Rasulullah, dan Allah menghapus kesedihan dan kegundahanku serta melunasi utang-utangku.” (HR. Abu Daud)

Dalam hadis ini kita menemukan sesuatu yang sangat rasional dan relevan bagi kehidupan. Abu Umamah diajarkan untuk memohon perlindungan dari kesedihan dan kegudahan (psikologis), dari kelemahan dan kemalasan (mental), dari sifat pengecut dan bakhil (sikap sosial), serta dari lilitan utang dan tekanan orang lain (sosial-politik).

Dalam teori motivasi apa pun, yang menjadi sasaran pertama dan utama untuk diperbaiki dalam rangka mengubah kondisi sosial seseorang atau satu masyarakat adalah sesuatu yang berhubungan dengan kondisi kejiwaan.

Sedih dan gundah adalah kondisi kejiwaan negatif yang menjadi penghalang orang untuk bangkit melawan mental yang lemah dan malas. Orang yang sedang sedih dan gundah pasti memiliki sikap mental yang lemah dan malas. Sebaliknya, hati yang ceria akan mendorong orang untuk menjadi bermental kuat dan semangat.

Ketika suasana jiwa sudah ceria, mental menguat dan semangat, di hadapan kita ada lagi dinding penghalang menuju kebangkitan, yaitu sikap pengecut dan bakhil. Banyak orang sukses dalam bisnis karena ia berani melawan sikap pengecut. Sebaliknya, karena sikap pengecut orang menjadi kehilangan kesempatan baik yang ada di hadapannya. Ia menjadi sosok peragu yang tidak pernah menghasilkan apa-apa. Melawan sikap pengecut bukan berarti harus bertindak atau mengambil keputusan tanpa pertimbangan obyektif. Justru, sikap pengecut itu adalah ketidakberanian dalam bertindak, menentukan sikap, dan mengambil keputusan di hadapan data-data obyektif yang mengharuskan seseorang segera bertindak, menentukan sikap, dan mengambil keputusan.


Utang adalah hal biasa dalam hidup. Hampir tidak ada bisnis tanpa utang. Orang bahkan berlomba mengutang untuk membangun sebuah bisnis. Tetapi utang harus rasional. Hari ini Anda berutang, dalam jangka waktu tertentu Anda harus mampu mengembalikan utang itu kepada pemiliknya.
Yang diajarkan oleh Nabi kepada Abu Umamah adalah berlindung dari lilitan utang (ghalabah al-dayn). Lilitan utang adalah utang yang tidak rasional. Utang yang lebih besar dari kemampuan seseorang atau sebuah perusahaan untuk mengembalikannya. Ketika utang lebih besar dari kemampuan, maka utang itu akan melilit.
Kesimpulannya, hadis di atas mengajarkan kepada kita bahwa syarat kesuksesan adalah jiwa yang ceria, mental yang kuat dan semangat, sikap berani dan murah hati, serta bebas dari lilitan utang dan tekanan orang lain. Saya tidak menyalahkan siapa pun memahami hadis di atas dengan pemahaman yang tidak sejalan dengan apa yang telah saya paparkan. Bisa jadi ada orang yang memahami hadis di atas laksana “mantra-mantra” untuk membebaskan diri dari lilitan utang. Jika itu diyakini, bukan tidak mungkin ia akan terbebas dari lilitan utang. Namun harus tetap diakui bahwa prosesnya tetap rasional, bukan dengan peroses simsalabim. Dalam psikologi ada terma yang menjelaskan hal ini secara rasional. Terma itu disebut dengan “efek placebo”: karena Anda yakin bahwa sesuatu akan mempengaruhi sesuatu yang lain, maka terjadilah apa yang Anda yakini. (Taufik Damas)