Jumat, 13 November 2009

Hakikat Kebangkrutan

Rasulullah SAW. bertanya kepada para sahabat, “Apa yang dimaksud dengan orang yang bangkrut (al-muflis)?”
Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut adalah orang yang hartanya ludes”.
Kata Rasulullah SAW, “Sesungguhnya orang yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Akan tetapi dia pernah mencaci orang lain, mengambil harta orang lain, melukai orang lain, dan menyakiti orang lain. Maka, pahala (shalat, puasa, dan zakat [ibadah]) yang ia dapatkan akan diserahkan kepada orang-orang yang pernah ia zalimi. Jika pahalanya habis (untuk membayar dosa-dosa sosial yang pernah ia lakukan) maka dosa orang-orang itu akan diambil kemudian dibebankan kepadanya hingga ia tersungkur ke dalam neraka!” (HR. Muslim)

Dalam hadis ini Rasulullah SAW menjelaskan makna al-muflis (orang yang bangkrut) dengan metode bertanya. Dalam dunia pendidikan, metode ini diyakini memiliki kekuatan tersendiri dalam menanamkan pemahaman kepada peserta didik. Ada yang ingin ditegaskan oleh Rasulullah SAW untuk dipahami oleh para sahabatnya hingga ia memilih pola pembelajaran yang dimulai dengan pertanyaan.

Konteks keluarnya hadis ini adalah kondisi yang terjangkit oleh indikasi “tidak sehat” yang mungkin ada dalam jiwa dan pikiran masyarakat. Atau, sebagai upaya antisipasi kemungkinan terjadinya kesalahpahaman mereka terhadap ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.

Hadis di atas menyentak kesadaran kita agar tidak terjerumus pada materialisme. Yang ditanyakan oleh Rasulullah SAW adalah sesuatu yang sangat dekat dengan paradigma materialisme: orang yang bangkrut. Orang yang bangkrut akan selalu diandaikan sebagai orang yang gagal dalam mengembangkan bisnis atau perdagangan. Orang yang bukan saja tidak mendapatkan untung, tapi juga kehilangan modal. Dalam konteks ini, jawaban para sahabat sama sekali tidak keliru.

Tapi, Rasulullah memberikan penjelasan lain tentang makna orang yang bangkrut. Penjelasan ini menghentak kesadaran mereka bahwa orang yang bangkrut adalah orang yang kehilangan pahala akibat kezaliman yang ia lakukan. Orang tersebut telah mendapatkan pahala dari ibadah-ibadah yang ia lakukan, baik shalat, puasa, dan zakat. Namun, karena sering melakukan kezaliman terhadap orang lain maka ia harus menanggung akibat yang sangat merugikan. Bukan hanya itu, ia bahkan harus menanggung dosa-dosa yang diambilkan dari orang-orang yang pernah ia zalimi karena pahalanya sudah tidak cukup untuk menutup kezaliman yang pernah ia lakukan.

Shalat, puasa, dan zakat yang disebut dalam hadis adalah simbol dari ibadah mahdhah (murni). Islam memang mewajibkan semua itu. Motivasi hukum ini kemudian mendorong umat Islam untuk melakukannya dan takut meninggalkannya. Mereka menyadari bahwa kewajiban melakukan itu semua bersumber dari Allah. Jika mereka tidak melakukan, maka Allah akan murka dan menyiksa. Jika mereka melakukan, maka Allah akan memberikan pahala.

Ibadah (agama) yang Allah ajarkan sejatinya untuk kebaikan manusia, bukan untuk Allah yang Mahakaya dan Mahakuasa. Salah satu misi Muhammad sebagai seorang Rasul adalah mengubah bentuk ibadah dan keyakinan masyarakat Mekah. Ketika itu, sebagaimana kita tahu, mereka menyembah berhala-berhala. Apa yang salah dari para penyembah berhala? Rugikah Tuhan karena mereka menyembah berhala? Sama sekali tidak. Lalu mengapa Allah memerintahkan Rasulullah mengubah keyakinan mereka? Ada pelecehan kemanusiaan dalam penyembahan terhadap berhala. Manusia adalah makhluk paling mulia, mengapa harus menyembah sesuatu yang lebih rendah dari dirinya? Secara sosiologis penyembahan berhala mengandung penindasan terhadap masyarakat dan melahirkan kultur feodalistik yang tidak sehat.

Islam datang menebarkan pesan tauhid. Berhala-berhala itu bukan Tuhan. Tuhan adalah esa, gaib, ikonoklasme, dan tak mengenal kasta. Di hadapan Tuhan semua manusia setara. Islam datang melabrak konsepsi sosial yang melingkupi kegiatan penyembahan berhala. Ujung-ujungnya Islam ingin mempertegas kemanusiaan. Inilah gagasan yang teramat modern di zamannya. Maka, ketegangan dan konflik antara primitivitas dan modernitas tidak bisa dihindari.

Gagasan kemanusiaan (humanisme) terkandung begitu tegas dalam hadis di atas. Rasulullah mengeritik orang-orang yang terperangkap pada logika transaksional-fertikal dalam berhubungan dengan Allah. Orang-orang seperti ini cenderung mengabaikan hubungan kemanusiaan. Ada kecenderungan menganggap manusia tidak penting ketika ibadah-ibadah sudah ditunaikan. Tidak sedikit orang yang mengaku menyembah Allah, tapi sikap sosial mereka tidak jauh berbeda dengan para penyembah berhala. Bahkan, ada orang yang menyakiti manusia dengan dalih membela Tuhan.

Sehebat apa pun perilaku ibadah seseorang tidak akan ada artinya di hadapan Tuhan jika ia sering menyakiti orang lain. Tuhan sangat menghargai kemanusiaan. Inilah inti pesan yang ada dalam hadis di atas. Inilah yang dimaksud sebagai sesuatu yang sangat modern: menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme yang untuk memahaminya kita perlu terus belajar. Sebab, humanisme bukan dogma. Ia sebentuk temuan intelektual dan spiritual yang membutuhkan waktu cukup panjang.

Terakhir, pasca hari raya Idul Fitri kita sering mengadakan acara Halal bi Halal. Kegiatan ini hanya ada di Indonesia. Inilah tradisi muslim Indonesia karena Halal bi Halal tidak dikenal oleh masyarakat muslim selain muslim Indonesia. Hadis di atas sangat layak dijadikan landasan perlunya menciptakan tradisi Halal bi Halal yang makna sederhananya adalah saling memaafkan agar kita tidak mengalami kebangkrutan ukhrawi. (Taufik Damas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar