Jumat, 12 November 2010

Surat Untuk Tuhan

Oleh Said Nasyid*

Setelah mengalami keraguan sekian lama, akhirnya aku putuskan untuk menulis sepucuk surat untuk-Mu, wahai Tuhan. Aku tidak tahu apakah Engkau akan membacanya seperti harapanku. Atau, Engkau sedang sibuk mengurus alam raya yang jauh lebih penting daripada urusan manusia. Meski demikian, aku yakin Engkau akan memberikan sedikit perhatian kepada kami. Oleh karenanya aku tetap menuliskan surat untuk-Mu tentang hubungan yang menyatukan aku dan Engkau. Mudah-mudahan surat ini memberikan manfaat bagiku pada hari kebangkitan. Semoga para pembaca bersedia memberikan kesaksian baik pada hari di mana aku berdiri sendirian menghadapi pengadilan ukhrawi.

Engkaulah Zat yang tidak membutuhkan ruang dan waktu…
Mungkin Engkau ingat pada hari di mana aku terdorong oleh intuisi untuk berjuang mendapatkan ijazah dari bangku kuliah—sambil menanggalkan ambisi akademis—agar aku dapat segera bekerja di wilayah terpencil di sebuah negara yang bernama Maroko. Aku tidak tahu apakah negara ini penting bagi-Mu, tapi negara ini sangat penting bagiku.

Perjalanan itu menuntut aku untuk menempuh jarak yang jauh dan mewujudkan tujuan yang sangat penting bagi-Mu dan bagi hubungan aku dengan-Mu. Aku memaksakan diri untuk meminjam sejumlah uang dari sebuah bank yang kemudian harus aku cicil sedemikian berat selama bertahun-tahun. Dengan uang itu aku mendapatkan kitab suci, berjilid-jilid buku agama, sejarah, tafsir, fatwa, serta buku fikih dari mazhab Sunny, Syiah dan Ibadhiyah. Aku tidak ingat berat turats (khazanah) agama ini. Yang aku ingat, aku membutuhkan kendaraan khusus untuk mengangkut semua itu setiap kali aku pindah tempat. Soal berpindah tempat ini, aku punya satu cerita yang aku simpan sejak lama.

Obsesiku yang paling kuat adalah kesuksesan—setelah bertahun-tahun menjalani hidup asketis dan meninggalkan kehidupan duniawi—dalam menyelesaikan masalah wujud-Mu dan masalah janji-janji-Mu: positif atau negatif. Aku tidak berharap mendengar suara-Mu yang datang tiba-tiba pada dini hari menjelang subuh. Aku juga tidak berharap Engkau mengirimkan tanda-tanda-Mu melalui mimpi atau dalam keadaan setengah terjaga. Aku adalah anak peradaban “teologi tanzîh (penyucian)” yang melihat jalan-jalan menuju Engkau hanya ada dalam “teks-teks”. Aku tidak ingin beriman seperti iman yang tergambarkan dalam doa Imam Ghazali, “Ya Allah, berikanlah aku iman orang-orang yang lemah”. Aku tidak puas dengan “taruhan” Pascal (filsuf Perancis [1623-1662], penj.) ketika ia menyatakan bahwa iman agama adalah taruhan yang tidak akan merugikan. Aku hanya menginginkan keyakinan rasional seorang pemuda yang tidak ingin mati dalam keadaan bodoh. Aku siap menerima segala sesuatu yang diterima oleh akal dan kehendak yang bebas dan mandiri.

Tidak ada yang aku takuti kecuali keraguan seperti yang dialami oleh para filsuf dan politisi ketika mereka menghadapi kematian. Aku tidak ingin menjadi orang yang tidak mampu mengambil keputusan dalam kondisi seperti itu.

Aku berusaha mendekati-Mu dengan berjalan kaki di atas kerikil-kerikil panas. Dalam seluk-beluk teks-teks aku mencari jalan yang dapat mengantarkan aku kepada-Mu. Aku mencari keyakinan yang menentramkan jiwa; keyakinan yang dicari oleh banyak orang sejak manusia diciptakan. Aku tidak ingin menemui-Mu dengan membawa iman orang-orang lemah atau taruhan Pascal. Sekadar tidak ingin mati dalam keadaan bodoh, apakah aku harus menerima penderitaan dan harus menjadi korban?

Engkau, Zat yang tidak di sini dan tidak pula di sana…
Engkau melihat dengan jiwa-Mu sendiri bagaimana aku menghabiskan masa mudaku untuk mencari jalan menuju kebenaran ontologis di dalam berton-ton kertas. Di atas kebenaran ontologis itulah aku akan menjalani hidup, bertemu dengan-Mu, atau bahkan tidak bertemu dengan-Mu.

Itulah hari-hariku…
Wahai Tuhanku, aku selalu ingat akan hari-hari di mana aku mengembara di antara tumpukan buku. Sebagian halaman buku-buku itu aku biarkan terbuka berhari-hari. Aku membandingkan antara apa yang ada dalam satu buku dan buku lainnya, baik wahyu, biografi, sejarah atau fikih. Aku menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menggali dan mencari asal-usul ritual, thawaf, rajam, sujud, bahkan nama-nama, sifat-sifat dan tugas-tugas-Mu.

Aku tidak pernah memimpikan masa depan kehidupan yang bertentangan dengan arah hembusan angin. Mungkin aku kehilangan sesuatu dalam pikiranku, tapi Engkau tahu bahwa ketulusan berbeda dengan kegilaan.

Bertahun-tahun aku bersahabat dengan manusia yang Kau jadikan sebagai Rasul terbaik bagi kami. Aku mendampinginya dalam perang, shalat, pergi dan kerinduan. Aku mengakui, di hadapan keluasan ilmu-Mu, bahwa aku tidak pernah bimbang untuk mengintai kesendirian dan kehangatan sang Rasul. Aku minta maaf bahwa saat itu aku seperti anak kecil yang bersembunyi di bawah tempat tidur orangtuanya sambil mengintip satu peristiwa yang mendorongnya menjadi wujud.

Aku merasa resah karena berbagai sikap, tindakan dan reaksi yang tidak sesuai dengan maqam keadilan dan kebijaksanaan seperti maqam-Mu. Akan tetapi aku mohon maaf dan merendahkan diri; aku berlindung kepada-Mu dan berusaha mencari dalih takwil dan tafsir yang aku temukan.

Obsesiku sangat tulus bahwa aku harus mengusir keraguan dengan keyakinan. Aku berpikir bahwa Kau, wahai Zat yang mahatinggi, tidak akan menghalangi aku untuk mengakui kenyataan: aku ragu pada agama-agama-Mu. Bagaimana mungkin Kau halangi aku, sedang Kau telah mempersilakan Nabi Ibrahim meminta bukti empiris dari-Mu untuk menentramkan jiwanya dalam yakin?

Aku merasa resah akan berbagai keputusan-Mu yang tidak sanggup aku mengerti dan tidak dapat aku pahami. Aku merendahkan diri kemudian memohon perlindungan-Mu.

Biarkan aku berterus terang pada-Mu bahwa keputusan-Mu atas cerainya Zainab bint Jahsyin dan nikahnya dengan Nabi Muhammad sangat meresahkan jiwaku. Hatiku sangat pilu ketika aku melihat dalam sepuluh sahabat yang Kau kabarkan akan masuk surga, tidak satu pun dari mereka orang miskin dan orang lemah. Apakah keagungan-Mu lupa pada Bilal al-Habsy, orang pertama yang mengumandangkan azan dengan nama-Mu? Apakah kemuliaan-Mu lupa pada Salman al-Farisi, orang yang datang dari ujung dunia untuk mendukung perjuangan Rasul-Mu? Apakah kasih-Mu lupa pada Abu Dzar al-Ghifari, penghulu orang-orang lemah di muka bumi? Sungguh aku resah ketika aku lihat sebagian besar dari orang-orang yang dikabarkan akan masuk surga adalah orang-orang terkaya. Keresahanku semakin dalam ketika tidak satu perempuan pun masuk dalam jajaran sepuluh orang yang dikabarkan akan masuk surga.

Sangat sulit bagiku untuk menghilangkan keresahanku berhadapan dengan kenyataan seperti itu. Meski demikian, aku berusaha menenangkan diri sambil mengatakan, “mungkin ada kesalahan di tempat tertentu dan hanya Engkau yang mengetahuinya”.

Akan tetapi aku sama sekali tidak mampu mencari alasan untuk menghilangkan keresahanku karena melihat orang-orang perdana yang beriman pada-Mu tidak hanya membagi-bagikan harta rampasan perang, tapi mereka juga membagi-bagikan tawanan perang perempuan. Mereka menganggap tawanan perempuan termasuk bagian dari harta rampasan perang. Inilah yang aku tidak sanggup mencari alasan pembenarannya.

Sebagian orang mungkin berkata, “Pada masa itu, semua orang melakukannya”.

Aku tetap tidak mampu menyembunyikan kenyataan yang aku simpan dalam hatiku: itu bukan alasan orang yang mencari kemuliaan, tapi alasan orang yang rendah diri.

Benar, wahai Tuhanku, orang lain memang melakukan hal itu dan tetap melakukannya. Akan tetapi, risalah-Mu tidak mungkin memerintahkan kami melakukan tindakan yang dilakukan orang lain.

Engkau tahu bahwa aku tidak berlebihan dalam menakwil kitab suci dan aku tetap mencari alasan yang dapat menghapus keraguan serta mengehentikan pertanyaan. Akan tetapi aku tidak mampu memuaskan jiwa dengan memalingkan pandangan dari sumber keresahan.

Aku sangat suka pada jawaban Sa’ad ibn Ubadah ketika ditanya, “Semua orang telah membaiat Abu Bakar, mengapa engkau tidak membaiatnya?”
Sa’ad menjawab dengan tegas dan penuh tanggungjawab, “Demi Allah. Andai semua jin dan manusia sepakat membaiatnya, aku tidak akan membaiatnya sampai aku bertemu dengan Allah dan melihat hisabku!”

Wahai Tuhan yang mahaagung dan mahakaya…
Mungkin Kau ingat suatu hari ketika aku pulang ke rumah dan perpustakaan pribadiku dibobol dan dicuri. Aku kehilangan semua buku yang ada. Aku sangat sedih dan sangat menyesali. Pada hari berikutnya, seorang kawan berkata kepadaku, “Inilah kesempatan bagimu. Tradisi berpikir adalah sesuatu yang tetap ada setelah kita lupa akan segala sesuatu. Apa yang kau risaukan lagi, sedang semuanya telah hilang darimu?”

Kata-katanya masuk ke dalam jiwaku bagaikan salju yang menyejukkan. Aku katakan padanya, “Tidak ada pilihan lain bagiku kecuali menjalani hidup dengan jalan lupa”. Jalan lupa? Jalan ini akan membawaku ke mana?

Aku kehilangan semua buku: buku klasik, buku agama, buku fikih, buku sejarah, bahkan Injil dan al-Quran. Apa yang mungkin selamat dari kehilangan dan kelupaan?

Wahai Tuhan yang tidak menyiksa kami karena kelupaan…
Lama aku menjalani hidup dengan jalan lupa. Ampuni aku karena aku tidak melihat dalam Islam ada agama, mazhab, aliran, partai atau negara. Aku tidak ingat pada Islam Sunny, Syiah, politis, salafi, dan sufi. Aku hanya mampu melihat bahwa Islam adalah kesadaran ontologis yang melampaui berbagai agama, budaya dan peradaban. Islam adalah kesadaran terbuka yang menghampar di atas cakrawala yang sangat tinggi. Atau, dalam istilah yang lain, Islam adalah agama fitrah.

Wahai Tuhan yang hadir tanpa kondisi apa pun…
Di hadapan-Mu aku paparkan pandanganku terhadap risalah-Mu sebagaimana aku melihatnya. Semoga kesaksian ini menyelamatkan aku dari pertanyaan pada hari perhitungan:

Aku bersaksi bahwa semua agama sama. Tidak ada satu agama pun yang lebih istimewa di atas agama lain. Semua agama mengandung kebenaran atau semua agama dalam kesesatan sebagaimana firman-Mu, “Sungguh kami atau kalian yang pasti berada dalam petunjuk atau kesesatan yang nyata” (Saba’: 24).

Aku bersaksi bahwa seorang muslim tidak harus terikat oleh ajaran dan tradisi tertentu. Seorang muslim tidak harus terkungkung oleh bentuk keberagamaan khusus. Seorang muslim hanya berafiliasi pada pengalaman spiritual yang melampaui seluruh agama dan tradisi tauhid, sesuai dengan firman-Mu, “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami pasrah kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 136).

Aku bersaksi bahwa kaum muslim tidak akan menjadi islamis, pengikut al-Quran atau pengikut ajaran Muhammad selama mereka menjalin hubungan langsung dengan-Mu, sebagaimana firman-Mu, “Akan tetapi jadilah kalian manusia-manusia yang mengabdi kepada Tuhan.” (Ali Imran: 79).

Aku bersaksi bahwa al-Quran bukan kitab politik, bukan kitab pembangunan dan bukan kitab pendidikan. Al-Quran bukan kitab undang-undang dan hukum. Al-Quran adalah kitab yang dijadikan sebagai sarana beribadah kepada-Mu, sebagaimana firman-Mu, “Akan tetapi jadilah kalian sebagai pengabdi pada Tuhan karena kalian telah mengajarkan kitab dan karena kalian mempelajarinya.” (Ali Imran: 79).

Aku bersaksi bahwa hukum murtad, ahli dzimmah dan semua hukum fikih telah digantikan oleh undang-undang positif dan piagam hak asasi manusia (HAM), sebagaimana firman-Mu, “Itulah umat yang telah berlalu. Mereka mendapatkan apa yang mereka usahakan dan kalian mendapatkan apa yang kalian usahakan. Kalian tidak akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang telah mereka lakukan.” (Al-Baqarah: 134).

Inilah kesaksianku, inilah imanku, inilah pedomanku sampai aku menghadapi hisabku nanti.

*Peneliti pada sebuah lembaga strategi di Maroko

Diterjemahkan oleh Taufik Damas dari http://www.alawan.org

Jumat, 05 November 2010

Al-Quran

Salah satu titik beda antara Mu’tazilah dan Sunny adalah pendapat soal al-Quran: apakah ia makhluk atau bukan makhluk. Perbedaan pendapat ini pernah menelan korban (inkuisisi) seorang ulama fikih, Ahmad bin Hambal (w. 855 M). Khalifah al-Makmun yang menganut paham Mu’tazilah memaksakan pendapat bahwa al-Quran adalah makhluk, sementara Ahmad bin Hambal bersikukuh menyatakan al-Quran bukan makhluk. Akibatnya, Ahmad bin Hambal harus mendekam di penjara selama tiga masa kekhilafahan: al-Makmun, al-Mu’tashim dan al-Watsiq. Pada masa al-Watsiq yang dikenal bijak, Ahmad bin Hambal dibebaskan dari penjara. Kasus inkuisisi ini sering dijadikan bukti bahwa koalisi paham keagamaan dengan kekuasaan politik adalah berbahaya.

Kisah inkuisisi Ahmad bin Hambal sangat terkenal dalam sejarah Islam. Kisah ini saya kutip kembali sebagai pembuka untuk masuk dalam pembahasan tentang al-Quran. Tepatnya, bagaimana kita menyikapi (atau memposisikan) al-Quran di zaman sekarang ini. Benarkan al-Quran telah mengatur segala hal dalam hidup ini? Apakah hukum-hukum yang ada dalam al-Quran harus dijalankan apa adanya? Apakah al-Quran hanya menyampaikan hukum-hukum awal (nash ta’sisy)? Apakah al-Quran hanya kitab suci yang membacanya bernilai ibadah?

Sebagai seorang muslim, saya sering membaca al-Quran dan memikirkannya. Ada kesan indah ketika membacanya tanpa harus memikirkan arti setiap ayat yang terbaca (Dan bacalah al-Quran secara perlahan-lahan [al-Muazmmil: 4]). Namun, karena sudah akrab dengan bahasa al-Quran, dengan sendirinya pemahaman akan arti itu selalu hadir setiap kali membaca ayat-ayatnya. Kehadiran pemahaman arti ayat-ayat itu selalu mengundang otak saya untuk memikirkannya lebih jauh.

Ketika membaca ayat tentang (sumpah) zihar (al-Mujadilah: 3), saya bertanya ayat ini ditujukan kepada siapa? Sumpah menyamakan istri dengan ibu kandung tidak pernah terbayangkan oleh muslim di Indonesia. Jika kasus ini pernah terjadi, pasti tidak pada zaman sekarang dan pasti terikat oleh satu budaya tertentu; budaya masyarakat di mana ayat itu diturunkan pertama kali.

Dalam surah an-Nisâ’ ayat 3 ada kalimat aw mâ malakat aimânukum (atau budak-budak perempuan yang kalian miliki). “Jika kalian takut tidak dapat bersikap adil dalam mengurus anak-anak yatim, maka nikahilah perempuan yang baik buat kalian: dua, tiga atau empat. Jika kalian takut tidak dapat bersikap adil, maka nikahilah satu perempuan atau budak-budak perempuan yang kalian miliki (aw mâ malakat aimânukum) “.
Ketika membaca ayat ini, otak saya berpikir: siapa yang memiliki budak perempuan di zaman sekarang ini? Saya tidak punya budak perempuan, baik di rumah atau di tempat kerja. Apakah kita harus mengadakan budak-budak perempuan demi menjadikan ayat ini relevan?

Suatu malam saya membaca al-Quran lagi dan berhenti pada ayat 216 surah al-Baqarah. “Diwajibkan atas kalian berperang sedang perang itu tidak menyenangkan bagi kalian”. Siapapun tahu bahwa saat ini bukan lagi zaman perang. Kita hidup tidak dalam suasana perang. Jelas, ayat ini tidak dapat diterapkan saat ini. Saya bekerja dengan otak, keterampilan dan tenaga. Saya hanya perlu menggunakan otot ketika harus mengangkat barang-barang berat. Lantas kepada siapa ayat itu ditujukan? Dan, banyak lagi ayat yang mengundang pertanyaan ketika dibaca dan dihayati makna-maknanya.

Sebagai seorang muslim, saya menyadari bahwa keyakinan terhadap Islam harus seiring-sejalan dengan sejarah. Umat Islam harus mampu melihat perbedaan dan jarak antara ontologi Islam dan nash-nash suci (an-nushûs al-muqaddasah). Islam akan tetap hidup bersama umat dan umat selalu berjalan bersama Islam selama mereka mampu memandang nash-nash suci sebagai peletak hukum-hukum awal (nash ta’sisy), bukan sebagai hukum sekali jadi. Ia hanya berlaku pada masa awal lahirnya umat dan harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan sejarah kemanusiaan. Banyak ayat yang menegaskan bahwa jangkauan keberlakuan ayat-ayat itu terbatas. Ada ayat yang hanya berlaku bagi Nabi Muhammad, tidak untuk umatnya. Misalnya ayat yang menyatakan “Jangan engkau terburu-buru soal al-Quran sebelum wahyu itu selesai datang kepadamu. Katakanlah ‘Tuhanku, tambahkanlah aku ilmu’” (Thaha: 114).

Ada pula ayat yang memerintahkan Nabi Muhammad menikah dengan Zainab bint Jahsyin setelah dicerai oleh Zaid ibn Haritsah yang notabene anak angkat Nabi Muhammad (Al-Ahzab: 37). Ayat ini jelas sekali sangat terbatasi oleh ruang dan waktu, serta hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad.
Selain itu, ada pula ayat yang hanya berlaku pada para istri Nabi, seperti ayat 32 surah al-Ahzab, “Wahai istri-istri Nabi, kalian tidak sama dengan perempuan-perempuan yang lain jika kalian bertakwa. Maka, jangan kalian memanjakan suara dalam berbicara hingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya. Ucapkanlah kata-kata yang baik.”

Dalam al-Quran juga terdapat ayat yang hanya berlaku bagi kelompok tertentu dan pada masa tertentu, seperti ayat 117 surah at-Taubah, “Sungguh Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Anshar yang mengiktui Nabi pada masa-masa sulit setelah hati sekelompok orang dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka. Sungguh Dia Mahalembut dan Penyayang terhadap mereka.” Tentu masih banyak ayat yang menegaskan keterbatasannya pada ruang dan waktu. Ayat-ayat yang di sebut di atas hanya contoh saja.

Tak dapat dipungkiri bahwa pada zamannya, al-Quran telah memberikan dasar-dasar ontologis baru yang sangat penting dalam sejarah umat manusia. Bahkan, di masa lalu, kekuatan perspektif ontologis al-Quran berpengaruh pada sejarah pencerahan di Eropa. Kenyataan ini diakui dalam dunia filsafat, dan sebagai muslim saya merasa bangga. Meski demikian, al-Quran tetap makhluk, sebagaimana dikatakan oleh kelompok Mu’tazilah, yang memiliki sifat-sifat yang sama dengan makhluk lainnya. Tidak ada makhluk yang abadi karena yang abadi hanya Allah. Makhluk selalu memiliki keterbatasan ruang dan waktu.

Kitab Ibadah

Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai penegas kenabiannya dalam menghadapi masyarakat Arab yang dikenal sangat pandai bersastra. Tugas ini telah berhasil dan Islam berkembang hingga saat ini. Al-Quran juga menegaskan fungsi lain dalam dirinya, yaitu fungsi ibadah, seperti yang tertera dalam surah al-Muzammil ayat 4, “Dan bacalah al-Quran secara pelan-pelan.” Al-Quran sebagai kitab ibadah pun ditegaskan dalam disiplin ilmu fikih bahwa shalat setiap muslim dinyatakan sah dengan membaca al-Quran walau ia tidak memahami makna satu kata pun. Shalat juga tetap sah walau ayat yang dibaca adalah ayat yang dinyatakan telah di-nasakh (dianulir) oleh ayat yang lain.

Saya pernah mendengar pengakuan sebagian orang yang begitu tertarik pada al-Quran hanya karena mereka mendengarkan bacaan al-Quran walau mereka sama sekali tidak memahami arti ayat-ayat yang dibacakan. Ada daya tarik spiritual yang kuat saat orang mendengarkan ayat-ayat al-Quran dibacakan tanpa harus memikirkan makna-maknanya. Inilah hubungan spiritual paling dekat dan alami dengan Allah yang mereka dapatkan karena mereka mendengarkan al-Quran dalam kondisi tidak terbelenggu oleh beban makna yang terkandung dalam nash-nash al-Quran. Maka, bacalah al-Quran secara perlahan-lahan.