Jumat, 13 November 2009

Makna Puasa

Wahai orang-orang yang beriman, puasa telah diwajibkan pada kalian sebagaimana telah diwajibkan pada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. Pada hari-hari yang terbilang (ayyâm ma’dûdât) (Al-Baqarah: 183-184).

Kalimat ayyâm ma’dûdât memiliki arti beberapa hari. Dalam tradisi kebahasaan Arab, kata "beberapa (jama’)" cukup diwakili oleh jumlah tiga. Kewajiban menjalankan puasa selama sebulan penuh kita temukan dalam hadis Nabi. Hadislah yang menjadi penjelas kewajiban puasa berlaku sebulan penuh selama bulan Ramadhan. Salah satunya adalah riwayat Aisyah, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah melakukan shalat malam sampai pagi dan puasa sebulan penuh secara berturut-turut kecuali di bulan Ramadhan” (HR. Muslim).

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa melaksanakan puasa Ramadhan karena iman dan harapan (pada Allah) maka dosa-dosanya yang lalu pasti diampuni” (HR. Bukhari).

Bagaimana membuktikan bahwa puasa kita diterima oleh Allah dan dosa-dosa kita diampuni? Sulit menjawab pertanyaan ini secara pasti karena Allah tidak dapat diverifikasi. Meyakini sesuatu tentu tidak dilarang. Namun keyakinan kadangkala menyeret seseorang kepada kesombongan dan ritualisme yang tak berarti: ibadah-ibadah yang dilakukan tidak memiliki makna bagi kepribadian dan lingkungan.

Rasulullah memberikan semacam acuan batin untuk pelaku puasa. Daripada berpikir tentang penerimaan Allah akan puasa kita, jauh lebih baik melihat dan merasakan sejauh mana puasa memberikan dampak positif bagi kepribadian. Rasulullah bersabda, “Puasa adalah perisai. Jika kamu puasa, maka jangan berkata keji dan jangan bertindak bodoh. Jika seseorang menantangmu atau mencacimu, maka ucapkanlah, ‘aku sedang puasa’” (HR. Malik).

Puasa adalah perisai yang melindungi pelakunya dari ucapan dan perbuatan jahat. Orang yang melaksanakan puasa harus menjadi sosok yang baik dan toleran. Dalam hadis ini bahkan dicontohkan secara ekstrem: jika ada orang menantangmu atau mencacimu, maka ucapkanlah, "Aku sedang puasa".

Bercermin pada hadis ini, kita merasa heran bukan kepalang melihat fenomena arogansi dan kecaman jahat yang dilakukan oleh para pelaku puasa saat ini. Berpuasa, kemudian menindas orang yang tidak puasa. Berpuasa, kemudian mencaci orang yang tidak puasa. Berpuasa, kemudian menuduh orang yang tidak puasa sebagai tidak menghormati Ramadhan. Mengapa kebaikan yang diajarkan oleh Rasulullah tidak dapat kita hayati dan kita realisasikan?

Puasa diwajibkan agar pelakunya menjadi sosok yang bertakwa. Takwa adalah simbol kebajikan sosial, bukan hanya penampilan. Segala kebajikan adalah bagian dari ketakwaan. Orang bertakwa adalah orang yang gemar pada kebajikan, dalam bentuk apa pun dan diberlakukan kepada siapa pun. “Berapa banyak orang yang berpuasa tapi hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga. Berapa banyak orang yang melaksanakan ibadah malam tapi hanya mendapatkan kelelahan karena tidak tidur!”. (HR. Ahmad). Mari merenung!

(Taufik Damas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar