Jumat, 13 November 2009

Koreksi Rasulullah Saw.

Suatu hari Rasulullah duduk bersama para sahabat, lalu ada orang yang berjalan dengan semangat. Salah seorang sahabat komentar, “Andai saja semangat itu terlihat dalam jihad di jalan Allah.” Mendengar hal itu beliau berkata, “Jika ia keluar untuk anaknya yang masih kecil maka hal itu sudah termasuk di jalan Allah. Jika ia keluar bekerja untuk orangtuanya yang sudah tua maka hal itu termasuk di jalan Allah. Jika ia keluar bekerja untuk dirinya guna menjaga kehormatan maka termasuk di jalan Allah. Namun, jika ia keluar karena riya dan menyombongkan diri maka ia berada di jalan setan.” (HR. Al-Thabrânî dalam al-Mu’jam al-Kabîr 19/129)

Dalam hadis ini Rasulullah jelas mengoreksi kesalahan seorang sahabat dalam memahami “ruang-juang” kehidupan yang memiliki nilai mulia dalam pandangan Allah. Sang sahabat begitu sempit memahami ruang-juang yang kemuliaan. Ia hanya melihatnya ada pada aktivitas “jihad” di medan perang. Ketika ia melihat orang yang berjalan dengan semangat, maka imajinasinya begitu mudah menghampiri panorama peperangan. Untung ketika itu masih ada Rasulullah hingga koreksinya terhadap pemahaman keliru sang sahabat menjadi efektif.

Sang sahabat pun menyadari kekeliruannya karena ia mendapatkan koreksi dari manusia yang “tidak bicara berdasarkan keinginannya, melainkan dari Tuhannya”. Dia menyadari kekeliruannya, kemudian pandangannya menjadi luas seluas cinta dan kasih Allah terhadap makhluknya.

Orang yang memandang ruang juang dalam hidup seperti sahabat dalam hadis di atas cukup bejibun. Figur sahabat dalam hadis itu menunjukkan bahwa Islam sangat rentan untuk dipahami secara keliru. Di zaman sekarang ini jumlah orang seperti sahabat itu jauh lebih banyak.

Rasulullah memang sudah tiada sejak berabad-abad yang lalu. Sebagian orang lantas tidak mampu menangkap pesan kemanusiaan yang pernah ia sampaikan. Pesan kemanusiaan itu seolah hilang bersama hilangnya Rasulullah dari panggung dunia. Mereka tidak mampu menghidupkan Rasulullah kembali dalam hati dan jiwa mereka. Ironinya, mereka tidak mampu menangkap pesan kemanusiaan itu justru di zaman yang sangat membutuhkan aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan.

Mereka yang tega melakukan tindak terorisme adalah orang-orang yang tidak mampu menangkap dan menebarkan nilai-nilai kemanusiaan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah. Bagi mereka hanya ada satu jalan untuk menggapai kemuliaan agama, yaitu perang atau menebarkan teror.

Dalam hadis di atas, jihad yang dimaksud oleh sang sahabat adalah perang yang konsekwensinya mengucurkan darah dan menghilangkan nyawa. Dalam sejarah, perang pernah dilakukan oleh masyarakat mana pun, tanpa kecuali. Secara umum, masyarakat dunia saat ini telah mengubur kecenderngan itu dalam-dalam. Perang fisik, cucuran darah, dan hilangnya nyawa adalah bagian dari sejarah yang tidak boleh terulang. Dalam konteks kekinian perang dan terorisme adalah anomali yang memalukan. Hidup harus diisi dengan aktivitas dan sikap keadaban. Itulah cermin manusia normal yang selalu terbimbing oleh akal sehat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar