Jumat, 12 November 2010

Surat Untuk Tuhan

Oleh Said Nasyid*

Setelah mengalami keraguan sekian lama, akhirnya aku putuskan untuk menulis sepucuk surat untuk-Mu, wahai Tuhan. Aku tidak tahu apakah Engkau akan membacanya seperti harapanku. Atau, Engkau sedang sibuk mengurus alam raya yang jauh lebih penting daripada urusan manusia. Meski demikian, aku yakin Engkau akan memberikan sedikit perhatian kepada kami. Oleh karenanya aku tetap menuliskan surat untuk-Mu tentang hubungan yang menyatukan aku dan Engkau. Mudah-mudahan surat ini memberikan manfaat bagiku pada hari kebangkitan. Semoga para pembaca bersedia memberikan kesaksian baik pada hari di mana aku berdiri sendirian menghadapi pengadilan ukhrawi.

Engkaulah Zat yang tidak membutuhkan ruang dan waktu…
Mungkin Engkau ingat pada hari di mana aku terdorong oleh intuisi untuk berjuang mendapatkan ijazah dari bangku kuliah—sambil menanggalkan ambisi akademis—agar aku dapat segera bekerja di wilayah terpencil di sebuah negara yang bernama Maroko. Aku tidak tahu apakah negara ini penting bagi-Mu, tapi negara ini sangat penting bagiku.

Perjalanan itu menuntut aku untuk menempuh jarak yang jauh dan mewujudkan tujuan yang sangat penting bagi-Mu dan bagi hubungan aku dengan-Mu. Aku memaksakan diri untuk meminjam sejumlah uang dari sebuah bank yang kemudian harus aku cicil sedemikian berat selama bertahun-tahun. Dengan uang itu aku mendapatkan kitab suci, berjilid-jilid buku agama, sejarah, tafsir, fatwa, serta buku fikih dari mazhab Sunny, Syiah dan Ibadhiyah. Aku tidak ingat berat turats (khazanah) agama ini. Yang aku ingat, aku membutuhkan kendaraan khusus untuk mengangkut semua itu setiap kali aku pindah tempat. Soal berpindah tempat ini, aku punya satu cerita yang aku simpan sejak lama.

Obsesiku yang paling kuat adalah kesuksesan—setelah bertahun-tahun menjalani hidup asketis dan meninggalkan kehidupan duniawi—dalam menyelesaikan masalah wujud-Mu dan masalah janji-janji-Mu: positif atau negatif. Aku tidak berharap mendengar suara-Mu yang datang tiba-tiba pada dini hari menjelang subuh. Aku juga tidak berharap Engkau mengirimkan tanda-tanda-Mu melalui mimpi atau dalam keadaan setengah terjaga. Aku adalah anak peradaban “teologi tanzîh (penyucian)” yang melihat jalan-jalan menuju Engkau hanya ada dalam “teks-teks”. Aku tidak ingin beriman seperti iman yang tergambarkan dalam doa Imam Ghazali, “Ya Allah, berikanlah aku iman orang-orang yang lemah”. Aku tidak puas dengan “taruhan” Pascal (filsuf Perancis [1623-1662], penj.) ketika ia menyatakan bahwa iman agama adalah taruhan yang tidak akan merugikan. Aku hanya menginginkan keyakinan rasional seorang pemuda yang tidak ingin mati dalam keadaan bodoh. Aku siap menerima segala sesuatu yang diterima oleh akal dan kehendak yang bebas dan mandiri.

Tidak ada yang aku takuti kecuali keraguan seperti yang dialami oleh para filsuf dan politisi ketika mereka menghadapi kematian. Aku tidak ingin menjadi orang yang tidak mampu mengambil keputusan dalam kondisi seperti itu.

Aku berusaha mendekati-Mu dengan berjalan kaki di atas kerikil-kerikil panas. Dalam seluk-beluk teks-teks aku mencari jalan yang dapat mengantarkan aku kepada-Mu. Aku mencari keyakinan yang menentramkan jiwa; keyakinan yang dicari oleh banyak orang sejak manusia diciptakan. Aku tidak ingin menemui-Mu dengan membawa iman orang-orang lemah atau taruhan Pascal. Sekadar tidak ingin mati dalam keadaan bodoh, apakah aku harus menerima penderitaan dan harus menjadi korban?

Engkau, Zat yang tidak di sini dan tidak pula di sana…
Engkau melihat dengan jiwa-Mu sendiri bagaimana aku menghabiskan masa mudaku untuk mencari jalan menuju kebenaran ontologis di dalam berton-ton kertas. Di atas kebenaran ontologis itulah aku akan menjalani hidup, bertemu dengan-Mu, atau bahkan tidak bertemu dengan-Mu.

Itulah hari-hariku…
Wahai Tuhanku, aku selalu ingat akan hari-hari di mana aku mengembara di antara tumpukan buku. Sebagian halaman buku-buku itu aku biarkan terbuka berhari-hari. Aku membandingkan antara apa yang ada dalam satu buku dan buku lainnya, baik wahyu, biografi, sejarah atau fikih. Aku menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menggali dan mencari asal-usul ritual, thawaf, rajam, sujud, bahkan nama-nama, sifat-sifat dan tugas-tugas-Mu.

Aku tidak pernah memimpikan masa depan kehidupan yang bertentangan dengan arah hembusan angin. Mungkin aku kehilangan sesuatu dalam pikiranku, tapi Engkau tahu bahwa ketulusan berbeda dengan kegilaan.

Bertahun-tahun aku bersahabat dengan manusia yang Kau jadikan sebagai Rasul terbaik bagi kami. Aku mendampinginya dalam perang, shalat, pergi dan kerinduan. Aku mengakui, di hadapan keluasan ilmu-Mu, bahwa aku tidak pernah bimbang untuk mengintai kesendirian dan kehangatan sang Rasul. Aku minta maaf bahwa saat itu aku seperti anak kecil yang bersembunyi di bawah tempat tidur orangtuanya sambil mengintip satu peristiwa yang mendorongnya menjadi wujud.

Aku merasa resah karena berbagai sikap, tindakan dan reaksi yang tidak sesuai dengan maqam keadilan dan kebijaksanaan seperti maqam-Mu. Akan tetapi aku mohon maaf dan merendahkan diri; aku berlindung kepada-Mu dan berusaha mencari dalih takwil dan tafsir yang aku temukan.

Obsesiku sangat tulus bahwa aku harus mengusir keraguan dengan keyakinan. Aku berpikir bahwa Kau, wahai Zat yang mahatinggi, tidak akan menghalangi aku untuk mengakui kenyataan: aku ragu pada agama-agama-Mu. Bagaimana mungkin Kau halangi aku, sedang Kau telah mempersilakan Nabi Ibrahim meminta bukti empiris dari-Mu untuk menentramkan jiwanya dalam yakin?

Aku merasa resah akan berbagai keputusan-Mu yang tidak sanggup aku mengerti dan tidak dapat aku pahami. Aku merendahkan diri kemudian memohon perlindungan-Mu.

Biarkan aku berterus terang pada-Mu bahwa keputusan-Mu atas cerainya Zainab bint Jahsyin dan nikahnya dengan Nabi Muhammad sangat meresahkan jiwaku. Hatiku sangat pilu ketika aku melihat dalam sepuluh sahabat yang Kau kabarkan akan masuk surga, tidak satu pun dari mereka orang miskin dan orang lemah. Apakah keagungan-Mu lupa pada Bilal al-Habsy, orang pertama yang mengumandangkan azan dengan nama-Mu? Apakah kemuliaan-Mu lupa pada Salman al-Farisi, orang yang datang dari ujung dunia untuk mendukung perjuangan Rasul-Mu? Apakah kasih-Mu lupa pada Abu Dzar al-Ghifari, penghulu orang-orang lemah di muka bumi? Sungguh aku resah ketika aku lihat sebagian besar dari orang-orang yang dikabarkan akan masuk surga adalah orang-orang terkaya. Keresahanku semakin dalam ketika tidak satu perempuan pun masuk dalam jajaran sepuluh orang yang dikabarkan akan masuk surga.

Sangat sulit bagiku untuk menghilangkan keresahanku berhadapan dengan kenyataan seperti itu. Meski demikian, aku berusaha menenangkan diri sambil mengatakan, “mungkin ada kesalahan di tempat tertentu dan hanya Engkau yang mengetahuinya”.

Akan tetapi aku sama sekali tidak mampu mencari alasan untuk menghilangkan keresahanku karena melihat orang-orang perdana yang beriman pada-Mu tidak hanya membagi-bagikan harta rampasan perang, tapi mereka juga membagi-bagikan tawanan perang perempuan. Mereka menganggap tawanan perempuan termasuk bagian dari harta rampasan perang. Inilah yang aku tidak sanggup mencari alasan pembenarannya.

Sebagian orang mungkin berkata, “Pada masa itu, semua orang melakukannya”.

Aku tetap tidak mampu menyembunyikan kenyataan yang aku simpan dalam hatiku: itu bukan alasan orang yang mencari kemuliaan, tapi alasan orang yang rendah diri.

Benar, wahai Tuhanku, orang lain memang melakukan hal itu dan tetap melakukannya. Akan tetapi, risalah-Mu tidak mungkin memerintahkan kami melakukan tindakan yang dilakukan orang lain.

Engkau tahu bahwa aku tidak berlebihan dalam menakwil kitab suci dan aku tetap mencari alasan yang dapat menghapus keraguan serta mengehentikan pertanyaan. Akan tetapi aku tidak mampu memuaskan jiwa dengan memalingkan pandangan dari sumber keresahan.

Aku sangat suka pada jawaban Sa’ad ibn Ubadah ketika ditanya, “Semua orang telah membaiat Abu Bakar, mengapa engkau tidak membaiatnya?”
Sa’ad menjawab dengan tegas dan penuh tanggungjawab, “Demi Allah. Andai semua jin dan manusia sepakat membaiatnya, aku tidak akan membaiatnya sampai aku bertemu dengan Allah dan melihat hisabku!”

Wahai Tuhan yang mahaagung dan mahakaya…
Mungkin Kau ingat suatu hari ketika aku pulang ke rumah dan perpustakaan pribadiku dibobol dan dicuri. Aku kehilangan semua buku yang ada. Aku sangat sedih dan sangat menyesali. Pada hari berikutnya, seorang kawan berkata kepadaku, “Inilah kesempatan bagimu. Tradisi berpikir adalah sesuatu yang tetap ada setelah kita lupa akan segala sesuatu. Apa yang kau risaukan lagi, sedang semuanya telah hilang darimu?”

Kata-katanya masuk ke dalam jiwaku bagaikan salju yang menyejukkan. Aku katakan padanya, “Tidak ada pilihan lain bagiku kecuali menjalani hidup dengan jalan lupa”. Jalan lupa? Jalan ini akan membawaku ke mana?

Aku kehilangan semua buku: buku klasik, buku agama, buku fikih, buku sejarah, bahkan Injil dan al-Quran. Apa yang mungkin selamat dari kehilangan dan kelupaan?

Wahai Tuhan yang tidak menyiksa kami karena kelupaan…
Lama aku menjalani hidup dengan jalan lupa. Ampuni aku karena aku tidak melihat dalam Islam ada agama, mazhab, aliran, partai atau negara. Aku tidak ingat pada Islam Sunny, Syiah, politis, salafi, dan sufi. Aku hanya mampu melihat bahwa Islam adalah kesadaran ontologis yang melampaui berbagai agama, budaya dan peradaban. Islam adalah kesadaran terbuka yang menghampar di atas cakrawala yang sangat tinggi. Atau, dalam istilah yang lain, Islam adalah agama fitrah.

Wahai Tuhan yang hadir tanpa kondisi apa pun…
Di hadapan-Mu aku paparkan pandanganku terhadap risalah-Mu sebagaimana aku melihatnya. Semoga kesaksian ini menyelamatkan aku dari pertanyaan pada hari perhitungan:

Aku bersaksi bahwa semua agama sama. Tidak ada satu agama pun yang lebih istimewa di atas agama lain. Semua agama mengandung kebenaran atau semua agama dalam kesesatan sebagaimana firman-Mu, “Sungguh kami atau kalian yang pasti berada dalam petunjuk atau kesesatan yang nyata” (Saba’: 24).

Aku bersaksi bahwa seorang muslim tidak harus terikat oleh ajaran dan tradisi tertentu. Seorang muslim tidak harus terkungkung oleh bentuk keberagamaan khusus. Seorang muslim hanya berafiliasi pada pengalaman spiritual yang melampaui seluruh agama dan tradisi tauhid, sesuai dengan firman-Mu, “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami pasrah kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 136).

Aku bersaksi bahwa kaum muslim tidak akan menjadi islamis, pengikut al-Quran atau pengikut ajaran Muhammad selama mereka menjalin hubungan langsung dengan-Mu, sebagaimana firman-Mu, “Akan tetapi jadilah kalian manusia-manusia yang mengabdi kepada Tuhan.” (Ali Imran: 79).

Aku bersaksi bahwa al-Quran bukan kitab politik, bukan kitab pembangunan dan bukan kitab pendidikan. Al-Quran bukan kitab undang-undang dan hukum. Al-Quran adalah kitab yang dijadikan sebagai sarana beribadah kepada-Mu, sebagaimana firman-Mu, “Akan tetapi jadilah kalian sebagai pengabdi pada Tuhan karena kalian telah mengajarkan kitab dan karena kalian mempelajarinya.” (Ali Imran: 79).

Aku bersaksi bahwa hukum murtad, ahli dzimmah dan semua hukum fikih telah digantikan oleh undang-undang positif dan piagam hak asasi manusia (HAM), sebagaimana firman-Mu, “Itulah umat yang telah berlalu. Mereka mendapatkan apa yang mereka usahakan dan kalian mendapatkan apa yang kalian usahakan. Kalian tidak akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang telah mereka lakukan.” (Al-Baqarah: 134).

Inilah kesaksianku, inilah imanku, inilah pedomanku sampai aku menghadapi hisabku nanti.

*Peneliti pada sebuah lembaga strategi di Maroko

Diterjemahkan oleh Taufik Damas dari http://www.alawan.org

Jumat, 05 November 2010

Al-Quran

Salah satu titik beda antara Mu’tazilah dan Sunny adalah pendapat soal al-Quran: apakah ia makhluk atau bukan makhluk. Perbedaan pendapat ini pernah menelan korban (inkuisisi) seorang ulama fikih, Ahmad bin Hambal (w. 855 M). Khalifah al-Makmun yang menganut paham Mu’tazilah memaksakan pendapat bahwa al-Quran adalah makhluk, sementara Ahmad bin Hambal bersikukuh menyatakan al-Quran bukan makhluk. Akibatnya, Ahmad bin Hambal harus mendekam di penjara selama tiga masa kekhilafahan: al-Makmun, al-Mu’tashim dan al-Watsiq. Pada masa al-Watsiq yang dikenal bijak, Ahmad bin Hambal dibebaskan dari penjara. Kasus inkuisisi ini sering dijadikan bukti bahwa koalisi paham keagamaan dengan kekuasaan politik adalah berbahaya.

Kisah inkuisisi Ahmad bin Hambal sangat terkenal dalam sejarah Islam. Kisah ini saya kutip kembali sebagai pembuka untuk masuk dalam pembahasan tentang al-Quran. Tepatnya, bagaimana kita menyikapi (atau memposisikan) al-Quran di zaman sekarang ini. Benarkan al-Quran telah mengatur segala hal dalam hidup ini? Apakah hukum-hukum yang ada dalam al-Quran harus dijalankan apa adanya? Apakah al-Quran hanya menyampaikan hukum-hukum awal (nash ta’sisy)? Apakah al-Quran hanya kitab suci yang membacanya bernilai ibadah?

Sebagai seorang muslim, saya sering membaca al-Quran dan memikirkannya. Ada kesan indah ketika membacanya tanpa harus memikirkan arti setiap ayat yang terbaca (Dan bacalah al-Quran secara perlahan-lahan [al-Muazmmil: 4]). Namun, karena sudah akrab dengan bahasa al-Quran, dengan sendirinya pemahaman akan arti itu selalu hadir setiap kali membaca ayat-ayatnya. Kehadiran pemahaman arti ayat-ayat itu selalu mengundang otak saya untuk memikirkannya lebih jauh.

Ketika membaca ayat tentang (sumpah) zihar (al-Mujadilah: 3), saya bertanya ayat ini ditujukan kepada siapa? Sumpah menyamakan istri dengan ibu kandung tidak pernah terbayangkan oleh muslim di Indonesia. Jika kasus ini pernah terjadi, pasti tidak pada zaman sekarang dan pasti terikat oleh satu budaya tertentu; budaya masyarakat di mana ayat itu diturunkan pertama kali.

Dalam surah an-Nisâ’ ayat 3 ada kalimat aw mâ malakat aimânukum (atau budak-budak perempuan yang kalian miliki). “Jika kalian takut tidak dapat bersikap adil dalam mengurus anak-anak yatim, maka nikahilah perempuan yang baik buat kalian: dua, tiga atau empat. Jika kalian takut tidak dapat bersikap adil, maka nikahilah satu perempuan atau budak-budak perempuan yang kalian miliki (aw mâ malakat aimânukum) “.
Ketika membaca ayat ini, otak saya berpikir: siapa yang memiliki budak perempuan di zaman sekarang ini? Saya tidak punya budak perempuan, baik di rumah atau di tempat kerja. Apakah kita harus mengadakan budak-budak perempuan demi menjadikan ayat ini relevan?

Suatu malam saya membaca al-Quran lagi dan berhenti pada ayat 216 surah al-Baqarah. “Diwajibkan atas kalian berperang sedang perang itu tidak menyenangkan bagi kalian”. Siapapun tahu bahwa saat ini bukan lagi zaman perang. Kita hidup tidak dalam suasana perang. Jelas, ayat ini tidak dapat diterapkan saat ini. Saya bekerja dengan otak, keterampilan dan tenaga. Saya hanya perlu menggunakan otot ketika harus mengangkat barang-barang berat. Lantas kepada siapa ayat itu ditujukan? Dan, banyak lagi ayat yang mengundang pertanyaan ketika dibaca dan dihayati makna-maknanya.

Sebagai seorang muslim, saya menyadari bahwa keyakinan terhadap Islam harus seiring-sejalan dengan sejarah. Umat Islam harus mampu melihat perbedaan dan jarak antara ontologi Islam dan nash-nash suci (an-nushûs al-muqaddasah). Islam akan tetap hidup bersama umat dan umat selalu berjalan bersama Islam selama mereka mampu memandang nash-nash suci sebagai peletak hukum-hukum awal (nash ta’sisy), bukan sebagai hukum sekali jadi. Ia hanya berlaku pada masa awal lahirnya umat dan harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan sejarah kemanusiaan. Banyak ayat yang menegaskan bahwa jangkauan keberlakuan ayat-ayat itu terbatas. Ada ayat yang hanya berlaku bagi Nabi Muhammad, tidak untuk umatnya. Misalnya ayat yang menyatakan “Jangan engkau terburu-buru soal al-Quran sebelum wahyu itu selesai datang kepadamu. Katakanlah ‘Tuhanku, tambahkanlah aku ilmu’” (Thaha: 114).

Ada pula ayat yang memerintahkan Nabi Muhammad menikah dengan Zainab bint Jahsyin setelah dicerai oleh Zaid ibn Haritsah yang notabene anak angkat Nabi Muhammad (Al-Ahzab: 37). Ayat ini jelas sekali sangat terbatasi oleh ruang dan waktu, serta hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad.
Selain itu, ada pula ayat yang hanya berlaku pada para istri Nabi, seperti ayat 32 surah al-Ahzab, “Wahai istri-istri Nabi, kalian tidak sama dengan perempuan-perempuan yang lain jika kalian bertakwa. Maka, jangan kalian memanjakan suara dalam berbicara hingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya. Ucapkanlah kata-kata yang baik.”

Dalam al-Quran juga terdapat ayat yang hanya berlaku bagi kelompok tertentu dan pada masa tertentu, seperti ayat 117 surah at-Taubah, “Sungguh Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Anshar yang mengiktui Nabi pada masa-masa sulit setelah hati sekelompok orang dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka. Sungguh Dia Mahalembut dan Penyayang terhadap mereka.” Tentu masih banyak ayat yang menegaskan keterbatasannya pada ruang dan waktu. Ayat-ayat yang di sebut di atas hanya contoh saja.

Tak dapat dipungkiri bahwa pada zamannya, al-Quran telah memberikan dasar-dasar ontologis baru yang sangat penting dalam sejarah umat manusia. Bahkan, di masa lalu, kekuatan perspektif ontologis al-Quran berpengaruh pada sejarah pencerahan di Eropa. Kenyataan ini diakui dalam dunia filsafat, dan sebagai muslim saya merasa bangga. Meski demikian, al-Quran tetap makhluk, sebagaimana dikatakan oleh kelompok Mu’tazilah, yang memiliki sifat-sifat yang sama dengan makhluk lainnya. Tidak ada makhluk yang abadi karena yang abadi hanya Allah. Makhluk selalu memiliki keterbatasan ruang dan waktu.

Kitab Ibadah

Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai penegas kenabiannya dalam menghadapi masyarakat Arab yang dikenal sangat pandai bersastra. Tugas ini telah berhasil dan Islam berkembang hingga saat ini. Al-Quran juga menegaskan fungsi lain dalam dirinya, yaitu fungsi ibadah, seperti yang tertera dalam surah al-Muzammil ayat 4, “Dan bacalah al-Quran secara pelan-pelan.” Al-Quran sebagai kitab ibadah pun ditegaskan dalam disiplin ilmu fikih bahwa shalat setiap muslim dinyatakan sah dengan membaca al-Quran walau ia tidak memahami makna satu kata pun. Shalat juga tetap sah walau ayat yang dibaca adalah ayat yang dinyatakan telah di-nasakh (dianulir) oleh ayat yang lain.

Saya pernah mendengar pengakuan sebagian orang yang begitu tertarik pada al-Quran hanya karena mereka mendengarkan bacaan al-Quran walau mereka sama sekali tidak memahami arti ayat-ayat yang dibacakan. Ada daya tarik spiritual yang kuat saat orang mendengarkan ayat-ayat al-Quran dibacakan tanpa harus memikirkan makna-maknanya. Inilah hubungan spiritual paling dekat dan alami dengan Allah yang mereka dapatkan karena mereka mendengarkan al-Quran dalam kondisi tidak terbelenggu oleh beban makna yang terkandung dalam nash-nash al-Quran. Maka, bacalah al-Quran secara perlahan-lahan.

Senin, 25 Oktober 2010

Menyederhanakan Islam

Pada awalnya, empat belas abad silam, Islam diturunkan sebagai ajaran ketuhanan. Islam dianut oleh sekelompok manusia sebagai pengganti dari ajaran ketuhanan yang ada ketika itu (periode Mekah). Pada perkembangan selanjutnya, secara sederhana, Islam menjelaskan hukum-hukum sosial-politik ketika masyarakat muslim telah terbentuk di Madinah (periode Medinah). Hukum-hukum sosial-politik ini tertera secara gamblang dan sederhana dalam al-Quran seperti soal zina, judi, zakat, rumahtangga, hubungan dengan kelompok non-muslim dan lain-lain.

Perkembangan ini berhubungan erat dengan kondisi masyarakat muslim yang memerlukan adanya aturan hidup setelah mereka terbentuk menjadi satu masyarakat yang baru. Hukum-hukum dasar ini kemudian dianggap sebagai hukum ilahi karena turun langsung dari Allah sebagai pemberi wahyu kepada Nabi Muhammad.

Setelah Islam semakin menyebar dan masyarakat muslim semakin heterogen, kebutuhan akan rumusan hukum yang lebih luas harus disediakan. Kehidupan masyarakat muslim menjadi jauh lebih kompleks dari kehidupan yang dihadapi oleh masyarakat muslim Madinah. Lahirlah satu konsep pemikiran untuk mengembangkan hukum-hukum sederhana Islam. Konsep pemikiran ini dikenal dengan istilah ijtihad, yaitu upaya menggali hukum dari sumber asli Islam, al-Quran dan Sunnah. Proses ijtihad ini melahirkan berbagai corak pemikiran hukum (fikih) dan para tokohnya. Di kalangan Suny, para tokoh yang terkenal adalah Malik, Syafii, Hanafi dan Hambali. Di luar Suny, tentu banyak tokoh dalam bidang fikih yang dianggap memiliki otoritas.

Keberagaman mazhab dalam fikih ini menunjukkan perbedaan interpretasi tentang hukum Islam pada saat itu. Perbedaan ini pun disebabkan oleh perbedaan metode atau manhaj dalam proses menentukan hukum atas kasus-kasus yang berkembang.

Pada perkembangan selanjutnya, kalangan muslim konservatif memandang keputusan hukum yang telah ditentukan oleh para ulama itu sudah final. Tugas masyarakat muslim saat ini hanya menjalankan hukum-hukum yang sudah tertera dalam berbagai buku fikih karya mereka. Ijtihad baru sudah tidak dibutuhkan lagi. Perkembangan masyarakat tidak dapat dijadikan alasan untuk memberikan peluang lahirnya hukum-hukum baru. Masyarakat harus menyesuaikan diri pada hukum-hukum normatif, bukan sebaliknya.

Kalangan muslim fundamentalis (atau neo-fundamentalis) memiliki pandangan yang berbeda dengan kelompok muslim konservatif. Mereka mengusung gerakan kembali kepada Islam atau syariah. Meski menghormati rumusan hukum Islam klasik, mereka tidak terikat dengan rumusan hukum klasik itu. Salah satu tokoh yang sering dijadikan rujukan dalam gerakan ini adalah Muhammad bin Abdul Wahab. Ia tidak mempertahankan taqlid (tunduk pada rumusan hukum ulama-ulama klasik), tapi mengajak kaum muslim untuk kembali kepada al-Quran dan Hadis. Dan, gerakan ini lebih tepat disebut sebagai gerakan purifikasi Islam, bukan pembaruan Islam.

Selain kelompok konservatif dan fundamentalis, dalam tubuh umat Islam ada gerakan pembaruan yang bertujuan melakukan modernisasi Islam. Gerakan modernisasi Islam ini melihat bahwa Islam harus mampu merespon perubahan zaman. Islam harus sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi agar umat Islam dapat mengejar ketertinggalan mereka. Gerakan ini menegaskan bahwa banyak interpretasi (doktrin) terhadap Islam yang perlu diperbarui. Meski demikian, mereka mengakui adanya doktrin-doktrin mutlak yang tidak dapat diubah.

Gerakan modernisasi selanjutnya menemukan bahwa doktrin yang tidak dapat diubah mengalami pengurangan. Banyak doktrin yang dianggap absolut ternyata bersifat relatif. Modernisasi Islam tidak dapat menghindar dari gerakan mempertegas doktrin-doktrin relatif Islam. Konsekwensi dari modernisasi meniscayakan bahwa doktrin-doktrin agama dapat diubah karena standar modernisasi adalah kemanusiaan dan ilmu pengetahuan, bukan teks-teks agama. Gerakan ini kemudian menuai berbagai kritikan keras dan sangat rentan untuk dipahami secara keliru.

Betapa tidak, gerakan modernisasi Islam ini berbenturan dengan kelompok konservatif dan fundamentalis. Bagi kelompok konservatif, modernisasi Islam bukan saja menyimpang, tapi membuat mereka kehilangan lahan dalam kehidupan ini. Otoritas mereka dalam mengontrol masyarakat menjadi tidak efektif ketika berhadapan dengan gerakan modernisasi Islam yang menekankan masyarakat untuk lebih percaya pada konsep-konsep modern ketimbang tokoh agama (ulama). Modernisasi mengandaikan pengalihan otoritas dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam bidang hukum. Otoritas itu ada di tangan parlemen bukan tokoh agama karena masyarakat modern diikat oleh satu konsep bermasyarakat yang disebut negara. Dalam negara, tokoh agama tidak dianggap sebagai pengambil keputusan hukum, tapi itu bagian dari tugas negara.

John L. Esposito menegaskan, bagi ulama, modernisasi telah membawa erosi yang serius terhadap kekuatan dan otoritas tradisional mereka. Reformasi-reformasi pendidikan dan hukum sangat mengurangi peran dominan ulama di bidang pendidikan dan hukum, mengurangi sumber-sumber penghasilan mereka dan menimbulkan berbagai pertanyaan serius tentang kompetensi dan relevansi mereka (Islam Warna Warni, 2004). Ketegangan antara pengusung modernisasi dan kelompok konservatif-fundamentalis dalam Islam tak terelakkan hingga saat ini.

Realistis
Pemaparan singkat tentang perkembangan pemikiran dalam Islam ini bertujuan menawarkan rumusan tentang keislaman yang realistis. Keislaman realistis adalah sikap keberagamaan yang menyadari bahwa kenyataan hidup modern tidak dapat dihindari oleh siapa pun. Dunia selalu bergerak dengan hukum-hukum obyektif yang menggiringnya. Tidak satu doktrin pun yang mampu berhadapan dengan hukum pergerakan kehidupan duniawi ini. Setiap doktrin, lambat-laun, pasti akan menemukan kelemahan dan kelelahannya di hadapan hukum-hukum dunia modern.

Meski demikian, ruang spiritualitas tetap tersedia dalam dunia modern. Di sinilah ruang bagi agama untuk mengaktualisasikan diri. Agama dapat dipertahankan oleh siapa pun sebagai pintu-pintu menuju Tuhan. Bagi umat Islam, menjadi modern bukan berarti tidak dapat melaksanakan bentuk-bentuk ibadah murni dalam rangka pemenuhan kebutuhan spiritual. Modernisasi tidak sedikit pun melarang hak manusia untuk melaksanakan ibadah sesuai agama dan keyakinan masing-masing.

Moderniasi hanya ingin menegaskan, selain ibadah, segala aspek dalam kehidupan ini harus diselesaikan oleh ilmu pengetahuan yang bersifat dinamis dan bebas. Inilah yang dimaksud menyederhanakan Islam.

Selasa, 12 Oktober 2010

Islam Kaffah

Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam as-silmi secara utuh, dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian. (QS. Al-Baqarah: 208).

Ayat di atas selalu dijadikan rujukan oleh sekelompok muslim untuk mengkampanyekan istilah “Islam Kaffah” atau “Islam utuh”. Dalam pandangan mereka, ayat ini merupakan ajakan wajib bahwa setiap muslim harus menjalankan ajaran Islam secara utuh, dari ujung rambut sampai ujung kaki; dari bangun tidur sampai tidur kembali.

Tidak jelas betul makna utuh yang dimaksudkan karena keutuhan itu ternyata sangat bergantung pada pemahaman tertentu tentang Islam. Ketika pemahaman tentang Islam bercorak fikih, maka keutuhan yang dimaksud adalah keutuhan dalam konteks fikih. Itu pun masih dipengaruhi hanya oleh mazhab tertentu dalam fikih sambil mengabaikan mazhab-mazhab yang lain. Puncak idealisasi Islam Kaffah adalah mendirikan sebuah negara yang berasaskan Islam karena, menurut logika mereka, tanpa negara Islam tidak dapat dijalankan secara utuh.

Muncullah simbol-simbol parsial yang secara ketat dikenakan dan dianggap sebagai bagian dari keutuhan Islam. Gaya pakaian, penampilan fisik, ujaran sehari-hari, gerakan bahkan organisasi dan ideologi menjadi pilihan untuk menegaskan keutuhan Islam. Tidak terpikirkan lagi oleh mereka soal otoritas dan interpretasi dalam semangat ini. Dan, klaim ini mengandung problem mendasar mengingat pemahaman tentang Islam sangat beragam, baik di masa lalu maupun di masa kini.

Tafsir Kata As-Silmi

Sebagian ulama menafsirkan kata as-silmi dalam ayat di atas sebagai Islam. Namun sebagian yang lain menafsirkannya sebagai kepasrahan, proses perdamaian dan ketundukan. Sufyan ats-Tsauri bahkan menafsirkan kata as-silmi sebagai simbol berbagai kebajikan (Tafsir al-Qurthubi, II, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, 2000) . Intinya, tidak ada konsensus (ijma’ ) ulama bahwa tafsiran kata as-silmi adalah Islam. Ia memiliki interpretasi yang beragam dan setiap muslim dapat memilih interpretasi yang lebih sejalan dengan semangat zaman. Akan lebih menarik jika kata as-silmi dalam ayat di atas dipahami sebagai proses perdamaian serta ketundukan pada nilai-nilai universal yang ada dalam setiap ajaran mana pun. Setiap orang beriman diajak untuk selalu menempuh proses perdamaian dan menjalankan nilai-nilai universal dalam rangka menciptakan kehidupan yang lebih beradab dan sejahtera.

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah dalam proses perdamaian (dan menjalankan nilai-nilai universal) secara utuh”. Dengan menafsirkan ayat di atas sebagai ajakan menciptakan perdamaian, maka “sasaran dakwah” ayat tersebut menjadi lebih luas dan dapat diterima oleh berbagai kalangan yang mencintai nilai-nilai kemanusiaan.

Andai tafsir ayat itu dipertahankan sebagai ajakan untuk menjalankan Islam secara utuh, otomatis kita harus mengakui ragam pemikiran yang pernah ada dalam sejarah Islam. Islam bukan hanya diwakili oleh Syafii (fikih), Ghazali (tasawuf), Asy’ari (aqidah), Bukhari (hadis) dan lain-lain yang di kalangan Sunny dianggap sebagai figur-figur otoritatif. Islam pun tidak hanya bicara soal fikih (hukum), tapi Islam juga bicara soal ilmu pengetahuan, kemanusiaan, filsafat, mistisisme dan lain-lain.

Sejarah Islam telah menunjukkan kekayaan pemikiran yang sangat luas dalam berbagai disiplin ilmu di zamannya. Inilah yang membuat seorang sejarawan asal Belgia, George Sarton, menyatakan bahwa tugas utama kemanusian telah dicapai oleh para muslim. Filsuf terbaik, al-Farabi (339 H/950 M), adalah seorang muslim. Matematikawan terbaik, Abu Kamil (850 M) dan Ibn Sina, adalah muslim. Ahli geograpi dan ensklopedia terbaik, al-Masudi (856 M), adalah seorang muslim, dan al-Thabari (310 H), ahli sejarah, juga seorang muslim (George Sarton, Introduction to the History of Science, 1948).

Di bidang filsafat, tasawuf dan teologi kita mengenal para tokoh seperti al-Kindi (873 M), Ibnu Sina (428 H/1037 M), Abu Bakar Ar-Razi (313 H/925 M), al-Halaj (923 M), Abu Yazid al-Bustami (261 H/874 M), Suhrawardi al-Maqtul (587 H) dan lain-lain dengan berbagai perbedaan pemikiran spekulatif yang luar biasa. Berbagai gagasan dan pemikiran yang pernah mereka tuangkan dalam karya-karya mereka menunjukkan kebebasan berpikir yang jauh lebih dahsyat dari apa yang dibayangkan oleh kelompok muslim yang mengkampanyekan Islam Kaffah di zaman sekarang ini.

Alih-alih mengenal kekayaan khazanah pemikiran dalam Islam, kampanye Islam Kaffah justru terjerumus pada rigiditas dan simplifikasi yang tidak menggambarkan bahwa Islam pernah berada pada masa keemasannya. Jika Islam hanya diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Syafii (204 H/819 M), al-Ghazali (450 H/1058 M), Asy’ari (324 H/935 M), Bukhari (256 H/870 M), dan Ibnu Taymiyah (728 H/1328 M), terlalu sulit memahami bahwa Islam pernah mencapai masa keemasan.

Kemajuan peradaban tidak akan terwujud jika masyarakatnya hanya mengandalkan “iman” dan jargon-jargon gigantis yang tidak berdasar. Kapan dan di mana pun, kemajuan peradaban mengandaikan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan, baik yang lunak (soft science) atau yang keras (hard science). Penguasaan ilmu pengetahuan itu harus didukung oleh suasana kebebasan yang jauh dari klaim sesat-menyesatkan. Kebebasan dan semangat ilmiah inilah yang membuat Islam pernah mencapai masa keemasannya.

Ulasan singkat ini ingin menegaskan dua hal: pertama, istilah Islam Kaffah lahir dari kata as-silmi yang terdapat dalam suarah al-Baqarah ayat 208. Kata as-silmi tidak hanya memiliki satu arti, tapi ia memliki banyak arti: islam, ketundukan, proses perdamaian dan kepasrahan. Setiap muslim harus berani berpikir untuk memilih interpretasi yang lebih modern dan sesuai dengan semangat zaman. Kedua, jargon Islam Kaffah harus ditinjau ulang karena telah terjerumus pada rigiditas pemahaman terhadap Islam yang begitu kaya dengan berbagai pemikiran yang pernah ada dalam sejarah Islam. Pengusung Islam Kaffah harus menguji ideologi yang selama ini mereka perjuangkan dengan penuh semangat. Mereka harus berani membuka diri terhadap berbagai aliran pemikiran dalam Islam yang sangat plural jika mereka benar-benar ingin menjadi muslim yang kaffah.

Jumat, 08 Oktober 2010

Pindah Agama: Halal, Tapi Tuhan Tidak Suka

Beberapa hari belakangan ini media massa, khususnya infotainment, memberitakan tentang kasus pindah agama beberapa artis Indonesia. Sebut saja nama Pinkan Mambo dan Rianti Cartwright yang sempat diisukan telah pindah agama karena pernikahan mereka dengan pasangan beda agama. Lepas dari benar atau tidaknya berita tersebut, wacana nikah pasangan beda agama menjadi relevan untuk dibahas kembali.

Memilih agama, pada dasarnya, adalah hak setiap individu. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih agama sesuai dengan kehendak dan keyakinan masing-masing. Islam menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (lâ ikrâha fî ad-dîn) karena setiap orang dipersilakan memilih dan menjalankan agama berdasarkan akal sehat dan hati nurani. Keterpaksaan dalam beragama hanya akan melahirkan sosok-sosok labil yang tidak memiliki dasar filosofis-rasional dalam beragama.

Thaha Jabir Ulwani, Direktur International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Amerika Serikat, menyatakan bahwa sejatinya tidak ada sanksi duniawi terhadap orang yang pindah agama. Ia menyatakan hal ini karena Al-Quran tidak pernah memaksa manusia dalam menentukan agama yang ingin dianut. Selain itu, Nabi Muhammad pun tidak pernah memberikan sanksi kepada orang-orang yang keluar dari Islam. Sanksi duniawi terhadap mereka yang pindah agama merupakan produk ulama fikih di kemudian hari dan lebih karena alasan politik dan keamanan (Lâ Ikrâha fî ad-Dîn, Shourouk Dauliyah & IIIT [Mesir]).

Dalam konteks pluralisme, semua agama sama karena bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Semua agama mengajarkan nilai-nilai baik yang harus dijalankan oleh umatnya masing-masing. Meski demikian, tidak dipungkiri bahwa dalam agama terdapat perbedaan doktrin yang tidak perlu dipertentangkan. Perbedaan tersebut harus dipahami sebagai bagian dari hak individu setiap pemeluk agama. Mempertentangkan perbedaan yang ada hanya akan melahirkan sikap permusuhan yang merugikan semua pihak. Tugas para pemeluk agama adalah menegaskan pentingnya nilai-nilai kebersamaan dan kesamaan yang dapat diterima oleh semua pihak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan pandangan pluralistik ini pula pindah agama menjadi sikap yang tidak relevan. Secara sosial, perubahan agama seseorang tidak hanya menyangkut kepentingan pribadi. Banyak faktor yang ikut terpengaruh oleh sikap pindah agama: keluarga, masyarakat, bahkan komunitas agama yang ditinggalkan. Walau tidak dengan kata-kata, pindah agama adalah tohokan paling keras bagi sebuah agama yang ditinggalkan oleh pemeluknya. Tokoh-tokoh agama merasa terpukul jika umatnya melakukan tindakan pindah agama. Karena itulah, pindah agama bukan solusi terbaik bagi umat untuk menyelesaikan problem sosial-teologis-ideologis yang mereka hadapi.

Pindah agama hampir sama dengan kasus perceraian (suami-istri) dalam rumah tangga. Ia merupakan perbuatan halal, tapi Tuhan tidak suka karena akan melahirkan hal-hal yang tidak diinginkan. Setiap umat beragama lebih diharapkan mampu melihat dan memperdalam (mempertegas) nilai-nilai humanistik yang ada dalam agamanya masing-masing, sekaligus mengeliminasi doktrin-doktrin yang tidak sesuai dengan semangat kemanusiaan.

Pindah Agama Karena Pernikahan

Akibat tidak ada undang undang yang memperbolehkan pasangan nikah beda agama di Indonesia, maka setiap pasangan harus menjadi pemeluk satu agama yang sama agar pernikahan mereka dapat pengakuan sah di mata negara. UU Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
UU ini sebenarnya tidak melarang pernikahan pasangan beda agama. UU ini hanya menyatakan bahwa pernikahan dinyatakan sah jika pernikahan itu sah di mata agama. Pernikahan beda agama akan dianggap sah oleh negara jika dianggap sah oleh agama masing-masing.

Para ulama Islam memilik pandangan yang tidak seragam dalam hal ini. Ada pendapat yang menyatakan pernikahan pasangan beda agama tidak boleh (haram) secara mutlak. Seorang muslim, laki-laki atau perempuan, tidak boleh menikah dengan pasangan yang beda agama. Pendapat yang lain menyatakan bahwa seorang muslim laki-laki boleh menikah dengan perempuan Ahlul Kitab (Yahudi atau Kristen), dan tidak sebaliknya. Namun, pada kenyataannya, seorang muslim lak-laki pun tidak boleh menikah dengan perempuan beda agama demi menjaga kemaslahatan. Dalam Perjanjian Lama, Kitab Ulangan 7:3, umat Nasrani juga dilarang untuk menikah dengan pasangan beda agama. Berbagai pendapat ini semestinya dapat ditinjau ulang agar lebih sesuai dengan kenyataan yang terjadi di masa kini.

Salah satu latar belakang orang pindah agama adalah kasih-sayang (cinta) yang kemudian ditindaklanjuti dalam institusi pernikahan. Realita yang ada menunjukkan bahwa tidak sedikit pasangan kekasih beda agama menjadi seagama demi melancarkan proses pernikahan mereka. Alasan paling mendasar adalah setiap agama “belum” memberikan legitimasi bagi pernikahan beda agama. Maka, terjadilah konversi salah satu pasangan yang sulit untuk dikatakan sebagai terdorong oleh kesadaran religiusitas individual. Dalam kasus seperti ini, pihak keluarga salah satu pasangan yang berpindah agama, tidak jarang harus merasa pasrah dan kalah. Lebih jauh dari itu, institusi pernikahan bisa jadi justru dipilih menjadi salah satu cara untuk mengajak orang lain pindah agama. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat toleransi dan pluralisme.

Untuk menyelesaikan problem seperti ini setiap agama dituntut untuk memberikan pintu legitimasi bagi pasangan beda agama agar tidak terjadi keterpaksaan pindah agama dalam pernikahan. Setiap agama harus mendorong umatnya pada nilai-nilai kebersamaan sambil mengesampingkan berbagai perbedaaan. Karena tujuan beragama tidak lain adalah menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera, tanpa ada pihak mana pun yang merasa terpaksa. Baik terpaksa memilih atau terpaksa meninggalkan: lâ ikrâha fî ad-dîn (tidak ada paksaan dalam beragama).

Selasa, 17 Agustus 2010

Ensiklopedi Penyiksaan (Resensi)

Judul asli buku ini adalah Mausû’ah al-‘Azâb (Ensiklopedi Penyiksaan). Dari judulnya saja, orang akan mengernyitkan dahi. Kok aneh? Apa yang dimaksud dengan Ensiklopedi Penyiksaan? Buku ini ditulis oleh Abud Asy-Syaligi dan diterbitkan oleh Penerbit Dâru al-‘Arabiyah li al-Mausû’ât.

Berikut sinopsisnya:

Penyiksaan bagian dari kezaliman. Secara etimologi, zalim berarti meletakan sesuatu tidak pada tempatnya yang tepat. Secara terminologi, zalim adalah menyakiti dan merampas hak manusia. Zalim adalah lawan dari takwa yang berarti takut dan taat pada Allah. Allah berfirman, "Maka, orang-orang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya" (QS: Al-An’âm: 45). Rasulullah bersabda, “Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” Rasulullah juga bersabda, “Barangsiapa membantu orang zalim maka Allah akan menjadikan orang zalim itu sebagai penguasanya .“

Sejarah dipenuhi oleh perilaku orang-orang yang berlebihan dan zalim. Di antara mereka ada yang dibalas segera, ada pula yang ditunda pembalasannya. Lebih dari itu, kezaliman mereka berakibat buruk pada anak, cucu dan keturunannya. Hal ini sesuai dengan pesan Rasulullah, “Barangsiapa khawatir keburukan akan menimpa keturunannya, maka bertakwalah kepada Allah”.

Dalam sejarah, manusia mengalami berbagai cobaan melalui tangan orang-orang bengis dan zalim. Mereka menyiksa dan membunuh tanpa alasan yang benar. Mereka memperbudak manusia dan akhir perjalanan hidup mereka penuh dengan penderitaan. Nama mereka selalu disebutka dalam cerita-cerita tentang penyiksaan.

Penyiksaan tidak pernah dilakukan pada awal-awal Islam. Islam datang membawa kedamaiaan, cinta dan kasih sayang dengan prinsip “Tidak ada paksaan dalam agama”. Nabi Muhammad yang membawa Islam meringkas semua yang ia bawa dalam kalimat, “Aku ditutus untuk menyempurnakan akhlak”. Ia selalu menyampaikan pesan kepada setiap pasukannya: Jangan bersikap berlebihan, jangan berkhianat, jangan memutilasi, serta jangan membunuh perempuan dan anak-anak.”

Begitu pula halnya dengan Abu Bakar ash-Shidik. Ia selalu menyampaikan pesan kepada komandan pasukan perang, “Jangan berlebihan, jangan berkhianat, jangan memutilasi, jangan membunuh anak, jangan membunuh orang renta dan jangan membunuh perempuan. Jangan merobohkan dan membakar pohon kurma. Kalian akan bertemu dengan sekelompok orang (rahib) yang menghabiskan waktu mereka di tempat-tempat ibadah. Biarkanlah mereka melakukan apa yang mereka lakukan.”

Suatu hari, sekelompok pasukan perang muslim datang kepada Abu Bakar sambil membawa penggalan kepala setelah mereka menyelesaikan perang. Abu Bakar marah dan berkata, “Ini (perilaku memenggal kepala) adalah perilaku orang lain (bukan perilaku orang muslim)!” Abu Bakar meminta mereka untuk tidak mengulangi perbuatan memenggal kepala karena itu perbuatan yang dilarang dalam Islam.
Khalifah Umar ibn Khattab pernah berkata kepada para pegawainya, “Aku mengangkat kalian sebagai pegawai agar kalian menyelesaikan tugas kemasyarakatan dengan benar dan berlaku adil terhadap masyarakat. Aku menjadikan kalian sebagai pegawai bukan untuk menyiksa masyarakat dan merampas harta mereka”.

Ketika Bani Umayah (Umawiyûn) memangku kekuasaan, terjadilah perubahan dari kondisi yang diciptakan oleh al-Khulafâ’ ar-Râsyidûn (para khalifah yang terbimbing). Sebagian dari Bani Umayah bersikap zalim terhadap masyarakat dan mereka mengangkat pejabat-pejabat yang zalim. Pejabat pertama yang bersikap zalim terhadap masyarakat adalah Ziyad ibn Abihi. Ia menyiksa masyarakat dan mengubur mereka hidup-hidup. Ia menutup kuburan itu dengan tembok besar dan ia pernah memotong tubuh para perempuan.

Cerita tentang Hajaj ibn Yusuf ats-Tsaqafi lain lagi. Karena kezalimannya, seluruh keluarga Hajaj harus menanggung akibatnya. Ketika ia mati dan digantikan oleh Sulaiman ibn Abdul Malik, Sulaiman memerintahkan semua laki-laki dari keluarga Hajaj ditangkap dan disiksa sampai mati.
Ketika Bani Abbas (Abbasiyûn) memangku kekuasaan, mereka mengumandangkan perang terhadap Bani Umayah karena kejahatan yang pernah mereka lakukan pada masyarakat. Mereka (Bani Umayah) telah melecehkan masyarakat dan bersikap serakah terhadap kekayaan nagara. Bani Abbas sering mengungkapkan kemarahan mereka terhadap kezaliman yang pernah dilakukan oleh Bani Umayah terhadap masyarakat: membunuh para laki-laki, melecehkan perempuan dan memenjarakan anak-anak. Mereka juga membunuh dengan menyalib di pohoh kurma, membakar dan mengusir.

Akan tetapi, sebagian dari Bani Abbas pun bersikap berlebihan dan zalim, seperti al-Manshur, al-Mutawakil, dan Qahir. Bahkan, kezaliman mereka melebihi kezaliman orang-orang sebelum mereka. Al-Manshur menerapkan semua bentuk penyiksaan terhadap masyarakat: menusuk mata orang yang disiksa dengan kayu, memakunya di tembok, menguburnya hidup-hidup dan menghancurkan rumah-rumah masyarakat.

Dalam kitab al-Kâmil fî at-Târîkh, Ibnu Atsir membuat satu bab khusus yang menjelaskan tentang kezaliman orang-orang berdarah dingin. Ibnu Atsir berkata, “Dengan membuat bab khusus tentang kezaliman, diharapkan orang-orang zalim itu menyadari bahwa kezaliman mereka akan tetap dikenang sepanjang masa. Dengan demikian, mereka akan segera menghentikan kezaliman. Hal ini tentu lebih baik walau mereka menghentikan kezaliman bukan karena Allah.”

Jahizh, dalam salah satu karyanya, menyebutkan sekelompok orang yang terkenal zalim. Maka, Allah mengutus seseorang yang menumpas mereka. Akibatnya, keturunan mereka tidak pernah dianggap oleh masyarakat. Keturunan mereka manjadi manusia-manusia yang tidak berguna. Contoh orang-orang yang zalim adalah Hajaj ibn Yusuf, Abu Muslim al-Kharasani, dan Yazib ibn Abu Muslim (seorang pejabat Irak yang diangkat oleh Hajaj). Walau memiliki keturunan yang banyak, tapi Allah membuat citra keturunan mereka sedemikian buruk. Maka, walau memiliki keturunan, mereka bagaikan orang-orang yang tidak memiliki keturunan.

Orang-orang yang zalim itu telah membuat noda hitam dalam lembaran sejarah. Mereka menjadi bukti kebenaran sabda Rasulullah, “Barangsiapa khawatir nasib buruk pada keturunannya, maka bertakwalah kepada Allah.” Orang-orang yang tidak bertakwa pada Allah, berlebihan dan zalim akan mengalami kerugian di masa depan. Mereka tidak akan memiliki keturunan yang membanggakan.

Sebagian dari bentuk penyiksaan membuat bulu kuduk berdiri ketika kita membayangkannya; lisan akan kelu ketika menyebutkan; ilmu akan gemetar ketika memastikan dan menuliskannya. Buku ini memuat bentuk-bentuk penyiksaan itu yang menunjukkan bahwa manusia memiliki sifat buas melebihi kebuasan binatang. Dalam buku ini termuat kisah-kisah zaman klasik dan zaman modern tentang bentuk penyiksaan. Buku ini juga menjabarkan penjelasan tentang istilah-istilah yang digunakan dalam proses penyiksaan. Semua itu dijelaskan oleh penulis buku ini dengan gaya tutur berkisah yang sederhana dan berpedoman pada bukti-bukti sejarah klasik yang ditransmisikan hingga ke masa kini.

Minggu, 17 Januari 2010

Mendukung Rizal Ramli

Oleh: Taufik Damas

Rizal Ramli, seorang ekonom pendirikan Econit Advasory Group, memiliki pandangan ekonomi yang sangat kritis terhadap pemerintah. Secara keilmuan, penguasaan Rizal terhadap teori-teori ekonomi tidak mungkin diragukan. Secara praktis pun ia pernah terjun langsung sebagai pejabat penting di negara ini, baik sebagai Kepala Bulog atau Menteri Koordiator Perekonomian pada masa pemerintahan Gus Dur.

Ketika menjabat sebagai Kepala Bulog, Rizal mengeluarkan kebijakan yang membuat pejabat di Bulog geram. Dengan dukungan berbagai pihak, kebijakan Rizal tetap dijalankan dan terbukti sangat efektif. Salah satu efektifitas kebijakannya adalah menutup beberapa nomor rekening liar yang ada di sekitar Bulog.

Ketika Rizal menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekomian, hal yang sama pun dilakukan. Ia pernah membuat kebijakan menyelamatkan PLN dari kebangkrutan. Pada masanya, banyak aset PLN yang belum direvaluasi selama belasan tahun. Lagi-lagi kebijakan Rizal mendapat penolakan dari direksi PLN dengan alasan tidak dapat membayar pajak revaluasi aset PLN. Namun Rizal bergeming. Ia terus memerintahkan kebijakan revaluasi aset dengan komitmen akan mengurus soal pajak ke Departemen Keuangan.

Di kemudian hari kebijakan revalusi aset ini menghasilkan nilai positif yang sangat signifikan. Aset PLN melambung dari Rp 52 triliun menjadi Rp 202 triliun. Modal yang yang tadinya minus Rp 9,1 triliun melesat menjadi Rp 119,4 triliun.

Rizal juga pernah diangkat menjadi Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) oleh Gus Dur. Rizal dianggkat oleh Gus Dur dalam rangka menyelamatkan sektor UKM. Sebagai Ketua KSSK, Rizal langsung bergerak cepat merestrukturisasi utang UKM dengan memberi potongan utang pokok dan bunga sebesar 50 persen kepada UKM, tapi utang-utang itu harus dibayar tunai sekaligus. Dan, kebijakan ini bagaikan pembuka kran yang mampet. UKM-UKM langsung membayar utang yang berarti memberikan dampak positif bagi gairah perekonomian yang sedang lunglai. Selain itu, pembayaran utang ini juga membantu dunia perbankan dalam merampingkan angka kredit macet.

Tentu masih banyak lagi kebijakan Rizal yang bersifat "menebas" dan efektif pada masa ia menjadi pejabat penting di negeri ini. Bahkan, akibat semangat menebasnya, sebagian orang menganggap Rizal sebagai salah satu sosok yang membuat lawan politik Gus Dur begitu bernafsu melengserkan Gus Dur dari kursi kepresidenan.

Kini Rizal berada di "luar pagar". Dan memang, hanya presiden seperti Gus Dur yang mau menerima orang seperti Rizal. Di luar pun ia tetap memberikan berbagai pandangan tentang ekonomi dan industri. Salah satu pandangan kritis Rizal saat ini diarahkan kepada kebijakan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) yang ia anggap bakal merugikan masyarakat Indonesia. Di luar pula ada pandangan yang justru mendukung kebijakan ACFTA dengan berbagai alasan. Namun, melihat reputasi seorang Rizal Ramli, tampaknya pandangan Rizal tentang kebijakan ACFTA tidak boleh diabaikan begitu saja.