Jumat, 13 November 2009

Pidato Politik

Dalam Târîkh al-Khulafâ', Imam Suyuthi mengungkap tiga model pidato politik dalam sejarah Islam. Pidato itu disampaikan oleh tiga tokoh politik dalam rentang waktu berdekatan. Tapi, isi tiga pidato itu memiliki tekanan makna yang berbeda-beda.

Pada tahun 20 H Umar bin Khaththab menyampaikan pidato politik di atas mimbar di Madinah. Ketika ia sedang berbicara, seorang badui teriak, "Demi Allah. Jika kau melakukan menyimpangan, kami akan meluruskanmu dengan pedang!" Mendengar ucapan orang badui itu, Umar lantas mengucapkan kata-kata yang terkenal, "Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan orang yang akan meluruskan Umar dalam masyarakat".

Pada tahun 45 H Muawiyah menyampaikan pidato politik. Di tengah pidato Muawiyah, ada orang yang menyela, "Demi Allah. Jika kau melakukan penyimpangan, kami akan meluruskanmu". Muawiyah bertanya kepada orang itu, "Dengan apa?" Ia menjawab, "Dengan kayu". "Kalau begitu kami akan bersikap lurus", kata Muawiyah.

Pada tahun 75 H Abdul Malik bin Marwan menyampaikan pidato politik di Madinah. Abdul Malik berkata, "Demi Allah. Jangan ada orang yang berani menasehatiku untuk bertakwa kepada Allah. Jika ada yang berani, aku akan memenggal lehernya!" Kemudian ia turun dari mimbar.

Tiga model pidato politik ini sangat menarik untuk dicermati karena mengandung semangat yang berbeda. Pidato yang disampaikan oleh Umar didasari oleh ketulusan dan kejujuran. Hal ini terbukti oleh gaya kepemimpinannnya yang sangat adil dan bijaksana. Umar adalah sosok yang tegas dan berani. Ia dikenal memiliki etos pembeda (furqân) yang membuatnya mendapatkan gelar al-fârûq (sang pembeda). Begitu pula halnya dengan orang badui yang menyela pidato Umar. Ia menyampaikan pesannya dengan tulus hingga Umar merasa bersyukur.

Pidato yang disampaikan oleh Muawiyah hanya retorika. Tidak ada ketulusan dalam pidato itu. Apa yang ia sampaikan tidak benar-benar akan dilakukan. Dialog antara Muawiyah dan orang yang menyela pidatonya hanya sandiwara belaka. Memakai istilah politik saat ini, yang dilakukan oleh Muawiyah hanya demokrasi prosedural.

Pidato politik ketiga memiliki ketegasan dan kejelasan yang sama dengan pidato politik pertama namun memiliki semangat yang sangat berbeda. Ketegasan pidato yang ketiga justru didorong oleh otoritarianisme yang tidak menerima kritikan dari orang lain. Sekadar mengingatkan untuk bertakwa, orang akan diganjar dengan pedang.

Menjelang pemilu presiden di Indonesia, kita sering mendengar pidato politik melalui berbagai media massa. Kita berharap pidato politik itu disampaikan oleh para politisi yang merujuk kepada kejujuran dan ketulusan Umar bin Khaththab. Nabi Saw bersabda, "Ada tiga kelompok orang yang pasti masuk surga: ... penguasa yang adil, jujur, dan konsisten". (HR. Muslim).

Namun, tidak sedikit orang menilai bahwa semua pidato politik saat ini hanya retorika belaka: sekadar mementaskan demokrasi prosedural. Maka, rakyat harus memiliki kecerdasan dan keberanian politik untuk mengontrol sikap para politisi. "Jihad yang paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa yang lalim", begitu sabda Nabi Saw. dalam Sunan Abu Dawud. Dua hadis di atas harus dapat diamalkan oleh politisi dan rakyat biasa agar tidak ada dusta di antara kita. (Taufik Damas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar