Senin, 16 November 2009

Memahami Hadis Nabi Secara Rasional

Oleh: Wail al-Sawah dalam website www.alawan.org
Diterjemahkan oleh: Taufik Damas

Dalam satu riwayat Jabir ibn Abdullah menyampaikan bahwa Nabi Muhammad melihat seorang perempuan kemudian ia masuk rumah menemui Zainab bint Jahsyn untuk menunaikan "hajat"-nya. Setelah selesai, ia keluar menemui para sahabat dan berkata, "Sungguh perempuan datang menyerupai setan. Barangsiapa merasakan sesuatu (hasrat seksual) karenanya, temuilah istrinya. Perilaku itu akan menghilangkan hasrat yang ada dalam jiwa (dalam riwayat lain: akan menekan hasrat yang tersimpan dalam jiwa)". Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Qathan, dan al-Albani. Semua memastikan bahwa hadis ini sahih.

Kita akan jadikan hadis ini sebagai obyek bahasan untuk membuktikan pendapat bahwa berpegang pada hadis-hadis Nabi yang baru dikumpulkan setelah dua ratus tahun dari masa Nabi adalah salah (bâthil) jika tidak mempertimbangkannya secara rasional dan menggunakan alur logika yang benar. Rasionalitas dan logika-lah yang akan menentukan kesahihan hadis. Prinsip-prinsip yang dipegang oleh para perawi hadis, seperti ilmu jarh wa ta'dîl dan lain-lain, tidak cukup dijadikan pegangan. Karena, prinsip-prinsip itu tidak cukup untuk membendung hadis di atas sampai kepada pembaca masa kini yang meyakininya sebagai hadis sahih dan dapat dipercaya.

Mari kita bayangkan kejadian dalam hadis di atas sesuai dengan ruang dan waktu. Nabi dan para sahabat duduk dalam satu majlis kemudian ada seorang perempuan lewat. Nabi melihatnya dan berhasrat padanya (atau karenanya). Ia minta izin pada para sahabat untuk masuk rumah menemui Zainab bint Jahsyn. Ia lantas menunaikan "hajat"-nya pada Zainab dan segera kembali kepada para sahabat untuk meneruskan perbincangan. Ia menjelaskan apa yang telah dilakukan dengan mengatakan, "Perempuan datang menyerupai setan. Dalam kondisi seperti itu, sebaiknya seorang laki-laki segera menemui istrinya agar tidak termakan oleh godaan setan".

Mari kita analisa hadis di atas. Dapat kita pastikan bahwa Nabi berkumpul dengan para sahabat dalam rangka berdiskusi tentang berbagai masalah yang berhubungan dengan umat, agama, dan masyarakat. Dalam buku-buku sejarah kita tidak pernah menemukan bahwa Nabi berkumpul dengan para sahabat hanya untuk bergurau menghabiskan waktu. Tiba-tiba seorang perempuan lewat dan Nabi segera meninggalkan perbincangan serius tentang berbagai masalah umat untuk menunaikan "hajat" dengan istrinya. Jelas, perilaku ini tidak pantas bagi seorang pemimpin seperti Nabi dan tidak sesuai dengan usianya ketika itu .

Selain itu, semua riwayat yang menceritakan hadis ini tidak menjelaskan kondisi sang perempuan yang lewat di hadapan Nabi dan para sahabat: apakah ia perempuan muda atau tua? Apakah ia cantik atau tidak? Apakah ia berpakaian tertutup atau terbuka? Semua riwayat juga tidak menjelaskan alasan Nabi menoleh kepada perempuan itu, memperhatikannya, dan meninggalkan semua pembicaraan.

Lepas dari pembicaraan penting yang sedang terjadi antara Nabi dan para sahabat, siapa pun tidak pantas meninggalkan sebuah majlis sekadar untuk menunaikan "hajat" pada istrinya kemudian kembali ke majlis, seolah tidak terjadi apa pun. Perilaku seperti ini tidak mungkin terjadi pada Nabi. Sikap ini mengandung penghinaan terhadap tamu—jika ia tuan rumah—, terhadap tuan rumah—jika ia tamu—, atau terhadap majlis—jika mereka berkumpul di masjid atau di tempat umum lainnya. Hal-hal seperti ini tidak dijelaskan dalam hadis di atas.

Nabi masuk menemui Zainab, sesuai teks hadis di atas, "kemudian menunaikan 'hajat' pada Zainab dan segera keluar menemui para sahabat..." Teks hadis ini, dengan berbagai riwayatnya, mengesankan bahwa Nabi menemui Zainab hanya dalam waktu yang singkat. Ketika ia keluar, para sahabat masih dalam kondisi duduk di tempat semula. Ini berarti sang laki-laki datang dengan cepat kepada istrinya, kemudian menyetubuhinya, dan mengalami orgasme dalam waktu singkat. Setelah itu, ia segera kembali kepada para sahabat untuk meneruskan perbincangan. Sikap seperti ini juga bukan watak Nabi dan bukan watak laki-laki mana pun yang menghargai diri sendiri, menghargai istri, dan mempergauli istri dengan baik.

Nabi sendiri pernah bersabda, "Seseorang jangan menyetubuhi istrinya seperti hewan. Hendaknya ada rasûl di antara mereka". Para sahabat bertanya, "Apa yang dimaksud dengan rasûl?" Ia menjawab, "Ciuman dan rayuan". Dalam riwayat Anas ibn Malik, Nabi berkata, "Ada tiga kelemahan seorang laki-laki..." Ia menyebutkan di antaranya adalah "Seorang laki-laki mendekati istrinya kemudia menyetubuhinya tanpa cumbu rayu. Ia menyetubuhi istrinya dan mencapai orgasme sebelum sang istri mencapai orgasme".

Mungkinkah Nabi melarang sesuatu tapi ia melakukannya? Tampaknya petunjuk Nabi dalam hal ini dapat kita lihat dalam penjelasan Imam Abu Hamid al-Ghazali, "Jika seseorang bersetubuh dengan istrinya, hendaknya ia memperlambat orgasmenya hingga sang istri mencapai orgasme. Orgasme sang istri bisa jadi lebih lambat. Jika ia tinggalkan sebelum sang istri mencapai orgasme, dorongan syahwatnya tidak akan terpenuhi. Dengan demikian ia telah menyakiti sang istri. Perbedaan waktu datangnya orgasme ini membuat ketidaknyamanan ketika suami telah orgasme lebih dahulu. Orgasme secara berbarengang lebih memberikan kenikmatan bagi sang istri. Seorang suami tidak boleh egois. Bisa jadi istri merasa malu dalam hal ini. Maka, sang suami harus dapat memahaminya ".

Inilah penjelasan yang sangat gamblang bahwa seorang suami tidak boleh cepat-cepat mencapai orgasme dan meninggalkan tempat tidur sebelum sang istri mencapai oragasme. Jika hal ini berlaku bagi laki-laki biasa, apakah mungkin Nabi memperbolehkan dirinya untuk cepat-cepat mencapai orgasme tanpa mempedulikan istrinya?

Apa yang sedang dilakukan oleh Zainab ketika Nabi menemuinya? Apakah ia sedang sibuk dengan urusan rumah tangga atau sibuk dengan urusan agama? Dalam dua kondisi itu, apakah suaminya boleh datang kepadanya untuk mengajak berhubungan badan dan ia harus meninggalkan apa yang sedang ia lakukan? Setelah beberapa saat, sang suami keluar menemui para sahabat. Apa yang Zainab lakukan kemudian? Apakah ia meneruskan kesibukannya dan seolah tidak terjadi apa pun? Benar Nabi, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, pernah bersabda, "Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur (untuk berhubungan badan), tapi sang istri menolak, maka para malaikat akan mengutuknya sampai pagi". Tapi hadis ini mengandung pengertian bahwa sang suami mengajak istrinya pada malam hari karena ada bukti kalimat "sampai pagi". Jika sang suami datang secara mendadak, langsung mengajak istrinya berhubungan badan, dan sang istri menolak, apakah para malaikat tetap akan mengutuknya?!

Hadis di atas juga tidak menjelaskan apakah Nabi mandi setelah berhubungan badan dengan Zainab. Teks hadis itu menegaskan bahwa Nabi segera menemui para sahabat kembali dan tidak menjelaskan ada waktu luang untuk mandi. Apakah hal ini berhubungan dengan keinginan Nabi untuk segera menyelesaikan tema pembicaraan hingga ia lupa mandi? Atau, sekadar ingin cepat menemui para sahabatnya agar dapat mengikuti tema penting yang sedang dibicarakan? Atau, ia ingin segera menjelaskan perilakunya yang sangat cepat itu kepada mereka?

Sesuatu yang lebih penting dari itu semua adalah, dalam hadis di atas, Nabi tampak lemah berhadapan dengan sesuatu yang datang darin luar dirinya (faktor eksternal), yaitu setan. Dalam hadis itu Nabi berkata, "Sungguh perempuan datang menyerupai setan. Barangsiapa merasakan sesuatu karenanya, hendaknya ia menemui (menyetubuhi) istrinya. Yang demikian itu akan meredam hasrat (seksual) yang ada dalam jiwanya". Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Albani disebutkan, "Ketika perempuan datang, ia datang menyerupai setan. Jika kalian melihat perempuan dan terpesona, hendaknya kalian menemui istri karena pada istri kalian ada sesuatu yang ada pada perempuan itu".

Menyamakan perempuan dengan setan adalah pelecehan yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang yang ma'shûm (terhindar dari perbuatan tercela dan dosa). Dia tidak pernah berbicara berdasarkan nafsu. Menyamakan perempuan dengan setan selalu ada dalam agama-agama tauhid, baik dalam Islam, Kristen, dan Yahudi. Penyamaan ini kadang kala sangat tidak masuk akal. Contohnya adalah hadis Nabi riwayat Muslim yang menyatakan, "Waspadalah terhadap dunia. Waspadalah terhadap perempuan. Sungguh, kerusakan pertama yang terjadi pada Bani Israel adalah karena perempuan". Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dan Tirmidzi, "Aku tidak meninggalkan ujian yang paling berbahaya bagi laki-laki daripada perempuan".

Poin terakhir yang akan kita bahas adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Albani, "Ketika perempuan datang, ia datang menyerupai setan. Jika kalian melihat perempuan dan terpesona, hendaknya kalian menemui istri karena pada istri kalian ada sesuatu yang ada pada perempuan itu". Hadis ini mengandung pelecehan kemanusiaan terhadap perempuan. Hadis ini memberikan pengertian bahwa jika seorang laki-laki tertarik (secara seksual) pada seorang perempuan, hendaknya ia menemui istrinya. Karena, pada istrinya ada anggota tubuh yang sama dengan anggota tubuh yang diinginkan pada perempuan itu. Bukankah ini berarti menggeser status perempuan dari manusia yang istimewa menjadi sesuatu laksana barang? Apakah perempuan hanya diinginkan karena tubuh (fisik)-nya? Apakah ucapan, interaksi, kelembutan, akal, dan jiwa perempuan tidak ada gunanya dalan hubungan seksual?

Akal yang sehat tentu tidak akan menerima sikap seperti itu terhadap perempuan. Seorang Nabi yang berjiwa pendidik, arif, dan pemimpin umat tidak mungkin memperlakukan perempuan seperti gambaran yang ada dalam hadis-hadis misoginis di atas. Hadis-hadis misoginis itu pun bertentangan dengan puluhan hadis yang menegaskan keharusan menghormati dan menghargai perempuan. Pertanyaanya: apakah hadis-hadis misoginis itu sahih? Apakah Nabi melakukan itu semua kemudian mengucapkan hadis-hadis misoginis? Ada dua jawaban: "ya" atau "tidak". Jawaban yang pertama berarti pelecehan terhadap sosok Nabi yang dicintai dan dimuliakan. Jawaban yang kedua adalah yang benar.

Tampaknya kita harus berani mempertanyakan sikap para peneliti muslim yang menggaggap hadis sebagai sumber kebenaran sejarah. Kita harus berani memulai penelitian terhadap wacana kenabian sebagai sumber perdana yang lahir dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Kita harus meletakkannya dalam bingkai analisa rasional dan logis. Kita harus mengembalikan wacana kenabian pada kondisi ruang dan waktunya. Kita tidak perlu menjadikannya sebagai kaidah bagi perilaku kita hari ini secara membabi-buta. Kita tidak perlu bercermin padanya secara serampangan. Kita tidak perlu mejadikannya sebagai sumber hukum, akhlak, dan sosial. Andai Nabi Muhammad hari ini diutus kembali kepada kita, sebagai masyarakat manusia, pasti ia akan menggunakan cara yang rasional dalam memahami apa yang dulu pernah ia ucapkan. Dan ternyata, sebagian besar peninggalan sejarah ini (turâts) penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moral yang luhur.

1 komentar:

  1. ada beberapa hal yang ingin saya tanggapi,
    pertama: dalam teks hadits tersebut, dikatakan bahwa Nabi Muhammad melihat seorang perempuan kemudian ia masuk rumah untuk menemui Zainab bint Jahsyn untuk menunaikan “hajat"-nya. Setelah usai, ia keluar menemui para sahabat sembari berkata, “Sungguh perempuan datang menyerupai setan. Barangsiapa merasakan sesuatu (hasrat seksual) karenanya, bersegeralah ke istrinya. Perilaku itu akan menghilangkan hasrat yang ada di dalam jiwa (dalam riwayat lain: akan menekan hasrat yang terpendam di dalam jiwa).”
    menurutnya si penulis, kata hajat berarti hubungan intim atau senggama, padahal, kalo seandainya kita berfikir logis, kata hajat dalam bahasa arab, diartikan sebagai kebutuhan, yang bersifat umum,dan sesuatu yang umum sellau membutuhkan takhsis,
    si penulis sangat keliru dalam peletakan takhsis, karena salah satu dari syarat takhsis, adanya kolerasi dengan 'aam, letak kekeliruannya, diataranya, hajat yg dilakukan nabi pada waktu itu, bersifat majhul (karena tidak ada teks lain yang menerangkannya), dan bisa saja, yg dilakukan nabi pada waktu itu bukan persenggamaan, tapi bisa dengan ciuman ataupun cumbuan, yang menurut orang psikolog, ciuman dan rayuan juga merupakan bagian dari dorongan seksual, jadi bukan persenggaman saja, salah satu bukti yang saya temukan, ketika nabi masuk kedalam kamar zainab sampai beliau keluar, sahabat pada waktu itu tidak beranjak sama sekali, hal ini mengindentifikasikan bahwa jarak waktu antara masuknya nabi ke kamar, sampai beliau keluar tidak terlalu lama. padahal durasi yanng dilakukan untuk hubungan semacam itu memerlukan waktu yg tidak singkat, apalagi nabi pernah mengajarkan untuk foreplay (yang penulis sebutkan diatas), blom lagi untuk mandi besarnya, bahkan, tidak menutup kemungkinan, nabi akan keletihan dan tidak bernafsu untuk melanjutkan majlisnya bersama sahabat.

    kedua: salah satu ciri khas dari intelektual muslim adalah selalu menginginkan perubahan, dengan asumsinya, bahwa teks (qur'an dan hadits) selalu tunduk oleh konteks, disini saya saya temukan hal yg rancu, dalam satu sisi, mereka menomor satukan konteks, tapi ketika teks berbicara yang seakan-akan sejalan dengan pendapat mereka, malah mereka melupakan konteks, salah satu syarat dalam ilmu jarh wa ta'dil dalam kritik terhadap matan adalah, kolerasi isi matan dengan matan yang lain, nah dalam hadits diatas, nabi bersabda "Sungguh perempuan datang menyerupai setan" sedangkan dalam hadits lain, nabi bersabda "dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhiasan adalah perempuan sholeh", mafhum mukholfahnya, perempuan akan dikategorikan busuk (lawan dari perhiasan) ketika ia tidak sholehah, disini jelas bahwa, perempuan yang dilihat oleh nabi adalh perempuan yg tidak sholehah, bisa jadi, pakainnya yg tidak menutup aurat, ataupun jalannya yg melenggak-lenggok. jadi konteks pada waktu nabi mengatakan perempuan adalah setan, dimana ketika perempuan tersebut tidak sesuai dengan ajaran islam.

    ketiga: penulis mengatakan, bahwa hadits tersebut seolah-olah mendiskriminasikan kaum perempuan, bagi saya itu adalah statement tidak beralasan, coba kita lihat hadits yang lain, yang menceritakan ketika seseorang bertanya pada nabi "siapakah yang harus aku muliakan?" lalu nabi menjawab "ibumu, ibumu, ibumu lalu bapakmu", apa ada seorang ibu yang tidak berjenis kelamin perempuan?

    BalasHapus