Selasa, 29 Desember 2009

Mengapa Kalender Hijriah Berdasarkan Rembulan?

Oleh: Taufik Damas

Dalam situs www.islamlib.com, Abd Moqsith Ghazali menulis satu artikel menarik tentang penentuan 1 Muharam sebagai tahun baru hijriah. Artikel Moqsith berjudul Kelumit Sejarah Pembentukan Kalender Islam. Artikel ini mengulas tentang latar belakang peristiwa yang dijadikan sebagai patokan untuk menentukan tahun pertama hijriah. Setelah terjadi perdebatan, terpilihlah peristiwa hijrah Rasulullah ke Yatsrib (Madinah) sebagai hari pertama dimulainya kalender hijriah dan bulan Muharam terpilih sebagai bulan pertama. Keputusan ini ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab, seorang Khalifah yang dikenal sangat inovatif di dalam Islam.

Artikel Moqsith yang menarik ini menyisakan satu pertanyaan yang tidak sempat dijelaskan: mengapa penghitungan kalender hijriah berdasarkan pada peredaran rembulan, bukan pada peredaran matahari? Bukankah penghitungan kalender berdasarkan peradaran rembulan terbukti sering melahirkan perbedaan pendapat dalam menentukan hari-hari tertentu? Bukankah penghitungan kalender berdasarkan peredaran matahari lebih memberikan kepastian seperti yang terjadi pada kalender masehi?

Perbedaan pendapat yang paling terang dan paling sering terjadi adalah dalam penentuan jatuhnya awal bulan Ramadhan dan bulan Syawal. Umat Islam sering berbeda pendapat dalam hal ini. Bahkan, pada tahun yang sama mungkin terjadi perbedaan pendapat yang lebih dari dua, seperti di Indonesia. Kondisi ini tentu cukup ironi dan entah kapan akan berakhir.

Dalam buku karya Zaki Amin yang berjudul Rizqî tahta Zhilli Ramhî dijelaskan tentang latar belakang kalender hijriah mendasari penghitungan pada peredaran rembulan.

Menurut Zaki, sebelum masyarakat Hijaz pra-Islam mengenal konsep Allah, mereka sudah mengenal konsep tuhan-tuhan dari berbagai peradaban yang ada di sekitar wilayah mereka. Dalam pikiran mereka terbersit kehendak untuk menciptakan konsep tuhan dari al-Lâta, Dewa Rembulan bagi masyarakat Syria (Syam). Akan tetapi Dewa ini adalah Dewa Perempuan dan tidak sesuai dengan karakter kejantanan masyarakat Hijaz (Tafsir Ibnu Katsir, hal. 1780). Selain itu, mereka juga tidak ingin "menyakiti" al-Lâta dengan mengubahnya jadi Dewa Laki-laki dan khawatir akan murkanya.

Maka, mereka mengubah (menderivasi) kata al-Lâta (muanats/perempuan) menjadi kata Allah (muzakar/laki-laki). Dengan kata lain, secara linguistik mereka mengubah rembulan dari berstatus perempuan menjadi berstatus laki-laki. Setelah menyepakati kata Allah sebagai Tuhan, mereka memposisikan Allah sebagai Tuhan tertinggi, sementara posisi al-Lâta berada di bawahnya. Tepatnya, al-Lâta diposisikan sebagai salah satu anak perempuan Allah. Dengan demikian mereka merasa telah berhasil mendamaikan antara karakter kejantanan mereka dan ke-perempuan-an al-Lâta, di satu sisi, serta tetap menjaga diri dari murka al-Lâta, di sisi lain.

Selain al-Lâta, mereka menambahkan anak-anak perempuan Allah dari peradaban lain: Uzza, Dewa Kekuatan dari Sinai, dan Manat, Dewa Pembagi Nasib dari Mesir. Terbentuklah konsep Allah, Tuhan Laki-laki, Dewa Rembulan, dalam kesadaran mereka. Selain Allah, mereka juga mengagungkan al-Lâta, Uzza, dan Manat yang menjadi anak-anak perempuan Allah. Tentang tiga anak perempuan Allah ini juga digambarkan oleh Philip K Hitti dalam History of The Arabs, hal. 123.

Selain itu mereka juga menjadikan rembulan (hilâl) sebagai simbol Allah dan bintang (najmah) sebagai simbol Uzza. Keduanya menjadi simbol yang mereka agungkan. Hingga saat ini, negara-negara di wilayah Timur-Tengah menggunakan rembulan dan bintang dalam bendera-bendera mereka. Berdasarkan ketuhanan rembulan inilah mereka menetapkan penghitungan kalender pada rembulan. Mereka juga menentukan berbagai ritual berdasarkan rembulan, baik shalat, puasa, atau haji.

Penghitungan kalender berdasarkan peredaran rembulan ini diteruskan setelah Islam datang dan berkembang di wilayah Arab. Dalam al-Quran ditegaskan, "Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, 'Itu adalah petunjuk waktu bagi manusia dan ibadah haji'" (QS. Al-Baqarah: 189). Inilah sekelumit penjelasan tentang penanggalan hijriah yang mendasari penghitungannya pada rembulan. Wallahu a'lam bi ash-shawâb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar