Senin, 25 Oktober 2010

Menyederhanakan Islam

Pada awalnya, empat belas abad silam, Islam diturunkan sebagai ajaran ketuhanan. Islam dianut oleh sekelompok manusia sebagai pengganti dari ajaran ketuhanan yang ada ketika itu (periode Mekah). Pada perkembangan selanjutnya, secara sederhana, Islam menjelaskan hukum-hukum sosial-politik ketika masyarakat muslim telah terbentuk di Madinah (periode Medinah). Hukum-hukum sosial-politik ini tertera secara gamblang dan sederhana dalam al-Quran seperti soal zina, judi, zakat, rumahtangga, hubungan dengan kelompok non-muslim dan lain-lain.

Perkembangan ini berhubungan erat dengan kondisi masyarakat muslim yang memerlukan adanya aturan hidup setelah mereka terbentuk menjadi satu masyarakat yang baru. Hukum-hukum dasar ini kemudian dianggap sebagai hukum ilahi karena turun langsung dari Allah sebagai pemberi wahyu kepada Nabi Muhammad.

Setelah Islam semakin menyebar dan masyarakat muslim semakin heterogen, kebutuhan akan rumusan hukum yang lebih luas harus disediakan. Kehidupan masyarakat muslim menjadi jauh lebih kompleks dari kehidupan yang dihadapi oleh masyarakat muslim Madinah. Lahirlah satu konsep pemikiran untuk mengembangkan hukum-hukum sederhana Islam. Konsep pemikiran ini dikenal dengan istilah ijtihad, yaitu upaya menggali hukum dari sumber asli Islam, al-Quran dan Sunnah. Proses ijtihad ini melahirkan berbagai corak pemikiran hukum (fikih) dan para tokohnya. Di kalangan Suny, para tokoh yang terkenal adalah Malik, Syafii, Hanafi dan Hambali. Di luar Suny, tentu banyak tokoh dalam bidang fikih yang dianggap memiliki otoritas.

Keberagaman mazhab dalam fikih ini menunjukkan perbedaan interpretasi tentang hukum Islam pada saat itu. Perbedaan ini pun disebabkan oleh perbedaan metode atau manhaj dalam proses menentukan hukum atas kasus-kasus yang berkembang.

Pada perkembangan selanjutnya, kalangan muslim konservatif memandang keputusan hukum yang telah ditentukan oleh para ulama itu sudah final. Tugas masyarakat muslim saat ini hanya menjalankan hukum-hukum yang sudah tertera dalam berbagai buku fikih karya mereka. Ijtihad baru sudah tidak dibutuhkan lagi. Perkembangan masyarakat tidak dapat dijadikan alasan untuk memberikan peluang lahirnya hukum-hukum baru. Masyarakat harus menyesuaikan diri pada hukum-hukum normatif, bukan sebaliknya.

Kalangan muslim fundamentalis (atau neo-fundamentalis) memiliki pandangan yang berbeda dengan kelompok muslim konservatif. Mereka mengusung gerakan kembali kepada Islam atau syariah. Meski menghormati rumusan hukum Islam klasik, mereka tidak terikat dengan rumusan hukum klasik itu. Salah satu tokoh yang sering dijadikan rujukan dalam gerakan ini adalah Muhammad bin Abdul Wahab. Ia tidak mempertahankan taqlid (tunduk pada rumusan hukum ulama-ulama klasik), tapi mengajak kaum muslim untuk kembali kepada al-Quran dan Hadis. Dan, gerakan ini lebih tepat disebut sebagai gerakan purifikasi Islam, bukan pembaruan Islam.

Selain kelompok konservatif dan fundamentalis, dalam tubuh umat Islam ada gerakan pembaruan yang bertujuan melakukan modernisasi Islam. Gerakan modernisasi Islam ini melihat bahwa Islam harus mampu merespon perubahan zaman. Islam harus sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi agar umat Islam dapat mengejar ketertinggalan mereka. Gerakan ini menegaskan bahwa banyak interpretasi (doktrin) terhadap Islam yang perlu diperbarui. Meski demikian, mereka mengakui adanya doktrin-doktrin mutlak yang tidak dapat diubah.

Gerakan modernisasi selanjutnya menemukan bahwa doktrin yang tidak dapat diubah mengalami pengurangan. Banyak doktrin yang dianggap absolut ternyata bersifat relatif. Modernisasi Islam tidak dapat menghindar dari gerakan mempertegas doktrin-doktrin relatif Islam. Konsekwensi dari modernisasi meniscayakan bahwa doktrin-doktrin agama dapat diubah karena standar modernisasi adalah kemanusiaan dan ilmu pengetahuan, bukan teks-teks agama. Gerakan ini kemudian menuai berbagai kritikan keras dan sangat rentan untuk dipahami secara keliru.

Betapa tidak, gerakan modernisasi Islam ini berbenturan dengan kelompok konservatif dan fundamentalis. Bagi kelompok konservatif, modernisasi Islam bukan saja menyimpang, tapi membuat mereka kehilangan lahan dalam kehidupan ini. Otoritas mereka dalam mengontrol masyarakat menjadi tidak efektif ketika berhadapan dengan gerakan modernisasi Islam yang menekankan masyarakat untuk lebih percaya pada konsep-konsep modern ketimbang tokoh agama (ulama). Modernisasi mengandaikan pengalihan otoritas dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam bidang hukum. Otoritas itu ada di tangan parlemen bukan tokoh agama karena masyarakat modern diikat oleh satu konsep bermasyarakat yang disebut negara. Dalam negara, tokoh agama tidak dianggap sebagai pengambil keputusan hukum, tapi itu bagian dari tugas negara.

John L. Esposito menegaskan, bagi ulama, modernisasi telah membawa erosi yang serius terhadap kekuatan dan otoritas tradisional mereka. Reformasi-reformasi pendidikan dan hukum sangat mengurangi peran dominan ulama di bidang pendidikan dan hukum, mengurangi sumber-sumber penghasilan mereka dan menimbulkan berbagai pertanyaan serius tentang kompetensi dan relevansi mereka (Islam Warna Warni, 2004). Ketegangan antara pengusung modernisasi dan kelompok konservatif-fundamentalis dalam Islam tak terelakkan hingga saat ini.

Realistis
Pemaparan singkat tentang perkembangan pemikiran dalam Islam ini bertujuan menawarkan rumusan tentang keislaman yang realistis. Keislaman realistis adalah sikap keberagamaan yang menyadari bahwa kenyataan hidup modern tidak dapat dihindari oleh siapa pun. Dunia selalu bergerak dengan hukum-hukum obyektif yang menggiringnya. Tidak satu doktrin pun yang mampu berhadapan dengan hukum pergerakan kehidupan duniawi ini. Setiap doktrin, lambat-laun, pasti akan menemukan kelemahan dan kelelahannya di hadapan hukum-hukum dunia modern.

Meski demikian, ruang spiritualitas tetap tersedia dalam dunia modern. Di sinilah ruang bagi agama untuk mengaktualisasikan diri. Agama dapat dipertahankan oleh siapa pun sebagai pintu-pintu menuju Tuhan. Bagi umat Islam, menjadi modern bukan berarti tidak dapat melaksanakan bentuk-bentuk ibadah murni dalam rangka pemenuhan kebutuhan spiritual. Modernisasi tidak sedikit pun melarang hak manusia untuk melaksanakan ibadah sesuai agama dan keyakinan masing-masing.

Moderniasi hanya ingin menegaskan, selain ibadah, segala aspek dalam kehidupan ini harus diselesaikan oleh ilmu pengetahuan yang bersifat dinamis dan bebas. Inilah yang dimaksud menyederhanakan Islam.

Selasa, 12 Oktober 2010

Islam Kaffah

Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam as-silmi secara utuh, dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian. (QS. Al-Baqarah: 208).

Ayat di atas selalu dijadikan rujukan oleh sekelompok muslim untuk mengkampanyekan istilah “Islam Kaffah” atau “Islam utuh”. Dalam pandangan mereka, ayat ini merupakan ajakan wajib bahwa setiap muslim harus menjalankan ajaran Islam secara utuh, dari ujung rambut sampai ujung kaki; dari bangun tidur sampai tidur kembali.

Tidak jelas betul makna utuh yang dimaksudkan karena keutuhan itu ternyata sangat bergantung pada pemahaman tertentu tentang Islam. Ketika pemahaman tentang Islam bercorak fikih, maka keutuhan yang dimaksud adalah keutuhan dalam konteks fikih. Itu pun masih dipengaruhi hanya oleh mazhab tertentu dalam fikih sambil mengabaikan mazhab-mazhab yang lain. Puncak idealisasi Islam Kaffah adalah mendirikan sebuah negara yang berasaskan Islam karena, menurut logika mereka, tanpa negara Islam tidak dapat dijalankan secara utuh.

Muncullah simbol-simbol parsial yang secara ketat dikenakan dan dianggap sebagai bagian dari keutuhan Islam. Gaya pakaian, penampilan fisik, ujaran sehari-hari, gerakan bahkan organisasi dan ideologi menjadi pilihan untuk menegaskan keutuhan Islam. Tidak terpikirkan lagi oleh mereka soal otoritas dan interpretasi dalam semangat ini. Dan, klaim ini mengandung problem mendasar mengingat pemahaman tentang Islam sangat beragam, baik di masa lalu maupun di masa kini.

Tafsir Kata As-Silmi

Sebagian ulama menafsirkan kata as-silmi dalam ayat di atas sebagai Islam. Namun sebagian yang lain menafsirkannya sebagai kepasrahan, proses perdamaian dan ketundukan. Sufyan ats-Tsauri bahkan menafsirkan kata as-silmi sebagai simbol berbagai kebajikan (Tafsir al-Qurthubi, II, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, 2000) . Intinya, tidak ada konsensus (ijma’ ) ulama bahwa tafsiran kata as-silmi adalah Islam. Ia memiliki interpretasi yang beragam dan setiap muslim dapat memilih interpretasi yang lebih sejalan dengan semangat zaman. Akan lebih menarik jika kata as-silmi dalam ayat di atas dipahami sebagai proses perdamaian serta ketundukan pada nilai-nilai universal yang ada dalam setiap ajaran mana pun. Setiap orang beriman diajak untuk selalu menempuh proses perdamaian dan menjalankan nilai-nilai universal dalam rangka menciptakan kehidupan yang lebih beradab dan sejahtera.

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah dalam proses perdamaian (dan menjalankan nilai-nilai universal) secara utuh”. Dengan menafsirkan ayat di atas sebagai ajakan menciptakan perdamaian, maka “sasaran dakwah” ayat tersebut menjadi lebih luas dan dapat diterima oleh berbagai kalangan yang mencintai nilai-nilai kemanusiaan.

Andai tafsir ayat itu dipertahankan sebagai ajakan untuk menjalankan Islam secara utuh, otomatis kita harus mengakui ragam pemikiran yang pernah ada dalam sejarah Islam. Islam bukan hanya diwakili oleh Syafii (fikih), Ghazali (tasawuf), Asy’ari (aqidah), Bukhari (hadis) dan lain-lain yang di kalangan Sunny dianggap sebagai figur-figur otoritatif. Islam pun tidak hanya bicara soal fikih (hukum), tapi Islam juga bicara soal ilmu pengetahuan, kemanusiaan, filsafat, mistisisme dan lain-lain.

Sejarah Islam telah menunjukkan kekayaan pemikiran yang sangat luas dalam berbagai disiplin ilmu di zamannya. Inilah yang membuat seorang sejarawan asal Belgia, George Sarton, menyatakan bahwa tugas utama kemanusian telah dicapai oleh para muslim. Filsuf terbaik, al-Farabi (339 H/950 M), adalah seorang muslim. Matematikawan terbaik, Abu Kamil (850 M) dan Ibn Sina, adalah muslim. Ahli geograpi dan ensklopedia terbaik, al-Masudi (856 M), adalah seorang muslim, dan al-Thabari (310 H), ahli sejarah, juga seorang muslim (George Sarton, Introduction to the History of Science, 1948).

Di bidang filsafat, tasawuf dan teologi kita mengenal para tokoh seperti al-Kindi (873 M), Ibnu Sina (428 H/1037 M), Abu Bakar Ar-Razi (313 H/925 M), al-Halaj (923 M), Abu Yazid al-Bustami (261 H/874 M), Suhrawardi al-Maqtul (587 H) dan lain-lain dengan berbagai perbedaan pemikiran spekulatif yang luar biasa. Berbagai gagasan dan pemikiran yang pernah mereka tuangkan dalam karya-karya mereka menunjukkan kebebasan berpikir yang jauh lebih dahsyat dari apa yang dibayangkan oleh kelompok muslim yang mengkampanyekan Islam Kaffah di zaman sekarang ini.

Alih-alih mengenal kekayaan khazanah pemikiran dalam Islam, kampanye Islam Kaffah justru terjerumus pada rigiditas dan simplifikasi yang tidak menggambarkan bahwa Islam pernah berada pada masa keemasannya. Jika Islam hanya diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Syafii (204 H/819 M), al-Ghazali (450 H/1058 M), Asy’ari (324 H/935 M), Bukhari (256 H/870 M), dan Ibnu Taymiyah (728 H/1328 M), terlalu sulit memahami bahwa Islam pernah mencapai masa keemasan.

Kemajuan peradaban tidak akan terwujud jika masyarakatnya hanya mengandalkan “iman” dan jargon-jargon gigantis yang tidak berdasar. Kapan dan di mana pun, kemajuan peradaban mengandaikan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan, baik yang lunak (soft science) atau yang keras (hard science). Penguasaan ilmu pengetahuan itu harus didukung oleh suasana kebebasan yang jauh dari klaim sesat-menyesatkan. Kebebasan dan semangat ilmiah inilah yang membuat Islam pernah mencapai masa keemasannya.

Ulasan singkat ini ingin menegaskan dua hal: pertama, istilah Islam Kaffah lahir dari kata as-silmi yang terdapat dalam suarah al-Baqarah ayat 208. Kata as-silmi tidak hanya memiliki satu arti, tapi ia memliki banyak arti: islam, ketundukan, proses perdamaian dan kepasrahan. Setiap muslim harus berani berpikir untuk memilih interpretasi yang lebih modern dan sesuai dengan semangat zaman. Kedua, jargon Islam Kaffah harus ditinjau ulang karena telah terjerumus pada rigiditas pemahaman terhadap Islam yang begitu kaya dengan berbagai pemikiran yang pernah ada dalam sejarah Islam. Pengusung Islam Kaffah harus menguji ideologi yang selama ini mereka perjuangkan dengan penuh semangat. Mereka harus berani membuka diri terhadap berbagai aliran pemikiran dalam Islam yang sangat plural jika mereka benar-benar ingin menjadi muslim yang kaffah.

Jumat, 08 Oktober 2010

Pindah Agama: Halal, Tapi Tuhan Tidak Suka

Beberapa hari belakangan ini media massa, khususnya infotainment, memberitakan tentang kasus pindah agama beberapa artis Indonesia. Sebut saja nama Pinkan Mambo dan Rianti Cartwright yang sempat diisukan telah pindah agama karena pernikahan mereka dengan pasangan beda agama. Lepas dari benar atau tidaknya berita tersebut, wacana nikah pasangan beda agama menjadi relevan untuk dibahas kembali.

Memilih agama, pada dasarnya, adalah hak setiap individu. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih agama sesuai dengan kehendak dan keyakinan masing-masing. Islam menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (lâ ikrâha fî ad-dîn) karena setiap orang dipersilakan memilih dan menjalankan agama berdasarkan akal sehat dan hati nurani. Keterpaksaan dalam beragama hanya akan melahirkan sosok-sosok labil yang tidak memiliki dasar filosofis-rasional dalam beragama.

Thaha Jabir Ulwani, Direktur International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Amerika Serikat, menyatakan bahwa sejatinya tidak ada sanksi duniawi terhadap orang yang pindah agama. Ia menyatakan hal ini karena Al-Quran tidak pernah memaksa manusia dalam menentukan agama yang ingin dianut. Selain itu, Nabi Muhammad pun tidak pernah memberikan sanksi kepada orang-orang yang keluar dari Islam. Sanksi duniawi terhadap mereka yang pindah agama merupakan produk ulama fikih di kemudian hari dan lebih karena alasan politik dan keamanan (Lâ Ikrâha fî ad-Dîn, Shourouk Dauliyah & IIIT [Mesir]).

Dalam konteks pluralisme, semua agama sama karena bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Semua agama mengajarkan nilai-nilai baik yang harus dijalankan oleh umatnya masing-masing. Meski demikian, tidak dipungkiri bahwa dalam agama terdapat perbedaan doktrin yang tidak perlu dipertentangkan. Perbedaan tersebut harus dipahami sebagai bagian dari hak individu setiap pemeluk agama. Mempertentangkan perbedaan yang ada hanya akan melahirkan sikap permusuhan yang merugikan semua pihak. Tugas para pemeluk agama adalah menegaskan pentingnya nilai-nilai kebersamaan dan kesamaan yang dapat diterima oleh semua pihak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan pandangan pluralistik ini pula pindah agama menjadi sikap yang tidak relevan. Secara sosial, perubahan agama seseorang tidak hanya menyangkut kepentingan pribadi. Banyak faktor yang ikut terpengaruh oleh sikap pindah agama: keluarga, masyarakat, bahkan komunitas agama yang ditinggalkan. Walau tidak dengan kata-kata, pindah agama adalah tohokan paling keras bagi sebuah agama yang ditinggalkan oleh pemeluknya. Tokoh-tokoh agama merasa terpukul jika umatnya melakukan tindakan pindah agama. Karena itulah, pindah agama bukan solusi terbaik bagi umat untuk menyelesaikan problem sosial-teologis-ideologis yang mereka hadapi.

Pindah agama hampir sama dengan kasus perceraian (suami-istri) dalam rumah tangga. Ia merupakan perbuatan halal, tapi Tuhan tidak suka karena akan melahirkan hal-hal yang tidak diinginkan. Setiap umat beragama lebih diharapkan mampu melihat dan memperdalam (mempertegas) nilai-nilai humanistik yang ada dalam agamanya masing-masing, sekaligus mengeliminasi doktrin-doktrin yang tidak sesuai dengan semangat kemanusiaan.

Pindah Agama Karena Pernikahan

Akibat tidak ada undang undang yang memperbolehkan pasangan nikah beda agama di Indonesia, maka setiap pasangan harus menjadi pemeluk satu agama yang sama agar pernikahan mereka dapat pengakuan sah di mata negara. UU Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
UU ini sebenarnya tidak melarang pernikahan pasangan beda agama. UU ini hanya menyatakan bahwa pernikahan dinyatakan sah jika pernikahan itu sah di mata agama. Pernikahan beda agama akan dianggap sah oleh negara jika dianggap sah oleh agama masing-masing.

Para ulama Islam memilik pandangan yang tidak seragam dalam hal ini. Ada pendapat yang menyatakan pernikahan pasangan beda agama tidak boleh (haram) secara mutlak. Seorang muslim, laki-laki atau perempuan, tidak boleh menikah dengan pasangan yang beda agama. Pendapat yang lain menyatakan bahwa seorang muslim laki-laki boleh menikah dengan perempuan Ahlul Kitab (Yahudi atau Kristen), dan tidak sebaliknya. Namun, pada kenyataannya, seorang muslim lak-laki pun tidak boleh menikah dengan perempuan beda agama demi menjaga kemaslahatan. Dalam Perjanjian Lama, Kitab Ulangan 7:3, umat Nasrani juga dilarang untuk menikah dengan pasangan beda agama. Berbagai pendapat ini semestinya dapat ditinjau ulang agar lebih sesuai dengan kenyataan yang terjadi di masa kini.

Salah satu latar belakang orang pindah agama adalah kasih-sayang (cinta) yang kemudian ditindaklanjuti dalam institusi pernikahan. Realita yang ada menunjukkan bahwa tidak sedikit pasangan kekasih beda agama menjadi seagama demi melancarkan proses pernikahan mereka. Alasan paling mendasar adalah setiap agama “belum” memberikan legitimasi bagi pernikahan beda agama. Maka, terjadilah konversi salah satu pasangan yang sulit untuk dikatakan sebagai terdorong oleh kesadaran religiusitas individual. Dalam kasus seperti ini, pihak keluarga salah satu pasangan yang berpindah agama, tidak jarang harus merasa pasrah dan kalah. Lebih jauh dari itu, institusi pernikahan bisa jadi justru dipilih menjadi salah satu cara untuk mengajak orang lain pindah agama. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat toleransi dan pluralisme.

Untuk menyelesaikan problem seperti ini setiap agama dituntut untuk memberikan pintu legitimasi bagi pasangan beda agama agar tidak terjadi keterpaksaan pindah agama dalam pernikahan. Setiap agama harus mendorong umatnya pada nilai-nilai kebersamaan sambil mengesampingkan berbagai perbedaaan. Karena tujuan beragama tidak lain adalah menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera, tanpa ada pihak mana pun yang merasa terpaksa. Baik terpaksa memilih atau terpaksa meninggalkan: lâ ikrâha fî ad-dîn (tidak ada paksaan dalam beragama).